Another Name

998 42 3
                                    

Ini gila.

Indonesia adalah negara bagian dari Amerika Serikat?

Kupandangi langit-langit kamarku. Sinar matahari menyeruak mengenai wajahku. Pagi yang cukup cerah sejak pengumuman kemarin dan yang lebih parah, sejak kemarin ibu tidak pulang. Tidak pula memberi kabar. Aku benar-benar khawatir dengan ibu. Walau ibu jarang pulang, hanya kali ini aku benar-benar khawatir. Aku takut terjadi apa-apa dengan ibu mengingat ibu adalah menteri penting di Indonesia dan sejak kemarin pula warga Indonesia mengamuk dan demo di Istana Negara.

Tak berapa lama Devon masuk ke kamarku sambil berteriak-teriak.

"Megan!" Mukanya benar-benar panik. Aku bangun dari tempat tidur dan bertanya-tanya ada apa dengan membuka mulutku membentuk huruf O.

"Ke ruang TV!" Devon menarik tanganku ke ruang TV. Di TV sudah ada liputan bahwa pendemo sudah merusak Istana Negara. Sang presiden aman di tempat tersembunyi. Hah. Orang itu. Sedangkan para menteri terluka. Ini yang aku takutkan.

"Ayo kita kerumah sakit!" ajakku yang kali ini tidak kalah panik dengan Devon.

"Tapi kita harus hati-hati. Keadaan diluar sudah benar-benar kacau. Sejak diresmikan, konstitusi kita sudah disamakan dengan Amerika. Kejahatan sudah dilegalkan," kata Devon padaku.

Kejahatan dilegalkan.

Ide bodoh macam apa ini?

"Lalu bagaimana?" tanyaku bingung.

Devon menyuruhku menunggu dan dia pun mengambil sesuatu di kamarnya. Tak berapa lama dia mengambil dua jaket hitam beserta dua pistol.

Ya, dua pistol.

"Pistol?" Aku gemetar. Kaget.

"Untuk berjaga-jaga. Kau tahu sendiri kalau kejahatan sudah dilegalkan. Aku takut terjadi apa-apa nanti. Lebih baik pistol daripada pisau, pistol tidak akan membunuh jika kita menembaknya di tempat bukan organ vital."

Aku mengangguk. Benar juga. Tapi aku takut. Kupegang pistol itu dengan hati-hati. Dingin.

"Aku tidak pernah menembak sebelumnya."

Devon mengusap-usap kedua pundakku, menenangkanku.

"Aku juga. Tapi kita tidak punya pilihan. Ayo!"

Devon dan aku pun memakai kedua jaket kami yang ternyata jaket ini dirancang dengan bahan-bahan khusus sehingga tahan terhadap pistol. Kami lalu berjalan ke garasi dan masuk ke mobil kami. Seperti biasa, Devon yang menyetir.

Di perjalanan menuju rumah sakit, kulihat orang-orang sudah berani melakukan kejahatan di depan umum. Terlihat ketika seorang Ibu berteriak, "Copet!" tapi tidak ada yang membantu menangkap pencopet itu. Sang Ibu terduduk lesu sambil menangis.

"Devon ... rasanya ingin kubantu ibu itu tapi aku tidak mampu."

"Iya, aku tahu," timpal Devon padaku.

Devon mempercepat laju mobilnya. Tak berapa lama kami sampai di sebuah rumah sakit di daerah Jakarta Selatan. Langsung kami tanya resepsionis di mana cari kamar ibu berada. Ternyata ibu ada di kamar 143. Kami pun langsung pergi ke kamar 143 dengan tergesa-gesa, berharap ibu baik-baik saja.

Ketika dibuka, ibu sudah siuman. Ditemani oleh seorang wanita entah siapa.

"Ibu kalian sudah siuman. Untung hanya luka kecil saja dan ibu kalian membutuhkan istirahat yang cukup karena stres," kata wanita itu pada kami. Wanita itu memiliki rambut pendek lurus yang pirang yang terlihat seperti memakai wig, tapi anehnya dia bermata hijau juga seperti kami. Bahkan warna mata hijaunya itu sama seperti mata kami ketika cahaya lampu mengenai kornea matanya.

The World War 3 [EDITING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang