Aku telah berada di ruang keluarga, tempat piano itu berada sambil menonton TV dan ngemil, menunggu Ramon yang sedang mandi. Tak berapa lama Ramon pun muncul dengan t-shirt hitam, jeans, converse biru dan kacamata khasnya. Aku langsung mematikan TV dan bangkit dari dudukku. Ramon pun menghampiri piano dan duduk di depannya, menekan-nekan kunci nada, mungkin nada-nada dasar, aku tidak mengerti. Ku perhatikan ia sambil berdiri di sampingnya. Tak berapa lama ia pun berhenti dan menolehku.
"Kau sudah bisa nada dasar kan?" tanyanya
Aku menggeleng.
"Kau lupa? Aku kan bilang aku tidak ada yang mengajari."
Ramon mengkerutkan keningnya lalu mengendurkannya seperti bergumam, oh iya.
"Baik, ayo duduk disebelahku."
Ramon menggeser duduknya ke sebelah kanan. Aku lalu duduk di samping kirinya.
"Ramon, boleh tidak aku meminta sesuatu sebelum aku di ajari?"
Ramon mengangguk.
"Tolong mainkan lagu David Archuleta yang My Kind Of Perfect. Aku ingin dengar dan di mainkan olehmu," pintaku
"Itu lagu favoritku juga! David Archuleta adalah penyanyi favoritku juga! Aku sering membawakan lagunya dengan piano!" Jawaban Ramon membuat aku senang karena aku akhirnya punya teman dengan satu kesukaan denganku.
"Yay, aku senang sekali akhirnya ada yang satu kesukaan denganku!"
Aku dan Ramon tertawa. Setelah itu mukanya mulai serius dan langsung berkonsentrasi dan menekan kunci nada untuk lagu David Archuleta yang My Kind Of Perfect. Ia pun mulai bernyanyi sambil memejamkan matanya.
I was thinking about ya
I drew a little picture
But some things you cant put on paperLalu giliran aku yang menyanyi bait selanjutnya.
Like it like shooting stars?
I write songs on guitar
Got more things to do than stare at a mirrorSetelah itu Ramon yang menyanyikannya.
I know, I know, she's gotta be out there, out there
I know I know she's gotta beKami pun menyanyikan chorus bersama-sama.
Maybe I'm wrong
Maybe I'm right
Maybe I just let you walk by
What can I say
Maybe I've known you all my lifeKubiarkan Ramon menyanyi solo bait selanjutnya.
Is she the one? Is it today?
Will I turn the corner
See my future in a beautiful face
MaybeDentingan piano untuk bait selanjutnya pun dilantunkan dan aku menyanyikan bait selanjutnya bersama-sama dengan Ramon sampai mengulang chorus untuk yang kedua kali. Setelah itu aku memerhatikan wajahnya yang sedang serius. Ia lebih sering memejamkan matanya sambil menyanyi, seperti sedang meresapi tiap liriknya. Lalu ku perhatikan tiap detil wajahnya. Alisnya yang tebal, bulu matanya yang panjang dan lentik, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis. Struktur wajahnya memang benar-benar pas. Dia memang benar-benar tampan. Saking fokusnya memerhatikan Ramon, aku tak menyadari bahwa aku telah berhenti menyanyi.
They say give it time
Give it time, and it will fall in line
But I keep wondering how and when
And why I haven't met youDia berhenti menekan nadanya dan menoleh padaku. Mata birunya tepat memandang mata hijauku.
"Kok berhenti nyanyi?" tanyanya mengagetkanku.
"Oh aku tadi sempet lupa lirik," jawabku, gugup.
Ramon tersenyum.
"Mau diulang atau mau langsung belajar?" Tanyanya lagi.
"Langsung belajar aja, yuk!"
Ramon pun mulai mengajariku kunci nada dasar C-D-E-F-G-A-B. Setelah ia menekan nada C lalu aku mengikutinya, begitu seterusnya untuk nada-nada selanjutnya. Setelah itu dia pun mengajariku lagu simpel anak-anak sebagai latihan. Tapi di bait terakhir aku selalu bertukar dengan nada yang lain. Rasanya mau lagu anak-anak pun rasanya sulit. Tapi aku harus bisa. Aku mengulangnya sampai tiga kali tapi selalu tertukar. Sampai ulangan ke empat di bait terakhir yang susah itu, tiba-tiba Ramon memegang tangan kananku dan membantuku menyelesaikan lagunya. Detak jantungku pun berdetak tak karuan. Lagu pun selesai tapi ia masih memegang tanganku. Ku pandangi wajahnya, ternyata ia juga memandangiku. Ia menatap mataku dengan pandangannya yang teduh. Rasanya aku lemas di buatnya. Aku tidak mengerti tapi detak jantungku semakin tak karuan ketika ditatap olehnya.
"Ehem!" Seseorang berdehem mengagetkan kami. Ternyata Devon sambil tertawa jahil. Langsung kami sadar dan menarik tangan kami masing-masing. Wajahku langsung bersemu merah, malu. Sedangkan Ramon menunduk sambil tersenyum kecil.
"Sepertinya ada yang wajahnya merah, nih," goda Devon padaku. Aku pun tertawa dibuatnya. "Engga kok!" elakku.
"Wajahnya tambah merah tuh!" Devon semakin menggodaku. Justru karena mengelak itu wajahku jadi bertambah merah. Rasanya aku ingin menenggelamkan diriku ke dalam bumi. Aku benar-benar malu apalagi Ramon ikutan tersenyum melihat wajahku yang merah. Tuhan.
Aku langsung berlari masuk ke kamarku sambil tersenyum. Harusnya aku sebal atau apa tapi bibirku tak henti-hentinya menyunggingkan senyum. Tapi aku pun harus menyembunyikan diriku dulu di hadapan Ramon. Kututup pintu kamarku dan kumerosot duduk bersandar di pintu. Kupegang dadaku, jantungku masih berdetak tak karuan. Ku rasakan pipiku pun masih panas, sepertinya masih merah. Sejujurnya, aku belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Aku tidak mau secepat ini menyimpulkan tapi aku rasa aku akan memandang Ramon dengan tatapan berbeda setelah ini.
***
Author sengaja bikin part ini dibikin singkat dan hanya ada part Megan dan Ramon aja biar feelnya kerasa hihi, sorry little bit cheesy ya ahaha xD Oh iya itu ada video clip My Kind Of Perfect by David Archuleta. Bayangin aja David yang main piano di video clip itu Ramon yang main piano :D xx next part secepatnya, konflik serius mulai keluar di part-part selanjutnya. Keep reading ya guys xx
KAMU SEDANG MEMBACA
The World War 3 [EDITING]
AventuraBagaimana jadinya jika sekelompok remaja dipaksa untuk menjadi tentara dalam mewakili sebuah negara di perang dunia ke tiga? Begitulah hidup yang dialami Megan Montgomery yang memiliki nama asli Aleksandra Leonadovna Dementieva, gadis blasteran Indo...