3

1.2K 256 3
                                    

[Name] mengenakan kemeja kotak-kotak yang dilapisi sweter rajut dan rok selutut. Dengan poni disisir ke kanan serta dijepit mutiara, ia tampil segar. Tas dijinjing, terkadang timbul bunyi logam berkontak bilamana tubuh bergerak.

Waktu janjian masih sepuluh menit, namun [Name] telah tiba di Perpustakaan Kota. Satu persatu ia menaiki anak tangga, menjelajahi lantai dengan rak-rak yang menjulang tinggi.

Lantai dasar interiornya amat memukau. Kandelir, yang walau tua, gemerlapan seumpama penggalan intan mahal.

Setelah menemukan meja kosong, [Name] meletakkan buku yang menarik atensi. Sebab ini belum terlalu siang, total pengunjung tidaklah banyak. Di antara mereka yang sibuk dengan urusannya masing-masing, [Name] turut tenggelam dalam bacaan.

.

.

.

"Maaf, apa aku keliru bikin jadwal?"

Kita datang tepat pukul sepuluh lebih lima belas menit. Ia berbusana sederhana dan hangat. Meski tak begitu kentara, raut Kita menggambarkan sedikit kepanikan.

[Name] mendongak, menggeleng. "Aku sengaja datang awal. Kau tidak terlambat."

"Baiklah." Kursi ditarik ke belakang. "Mana yang lain?"

Manusia akrab dengan yang namanya menunda-nunda.

"Tunggu saja."

[Name] mengambil buku dari tumpukan yang dikumpulkan, mendorongnya ke jurusan Kita.

"Bisa menambah detail esai Kodomo no Hi."

"Terima kasih," Kita merespons sewajarnya, lekas memindai sampul sembari membagi perhatian ke sudut-sudut perpustakaan. "Progres karanganmu berapa persen?"

[Name] menekan pulpen yang ditutup ujungnya ke dagu, menyahut, "Kira-kira 60. Aku hendak mencantumkan foto, tapi rasanya lebay."

"Oh, tren berswafoto."

Kontan Kita teringat pariwara televisi dan poster yang ramai ditempel di ruang publik. Telepon seluler dengan kamera depan pertama di dunia lahir di Jepang. Masyarakat antusias menyambut meski harga yang ditawarkan fantastis. Kamera beresolusi 0,11MP jika memori Kita tidak salah.

[Name] membantah, "Bukan. Aku tidak pede. Yang kumaksud itu foto benda yang dibutuhkan selama perayaan."

Kening mengerut. Kita tidak memperdalam penasarannya, hanya manggut-manggut. "Terserah kau saja."

𝟭𝟵𝟵𝟵Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang