Tanggal 26 April.
Sepeda kugiring ke parkiran, kemudian menstandarkannya dengan hati-hati. Sarung tangan yang membantu menghangatkan terlepas. Buku jariku memutih.
Sarapan lezat masakan Nenek masih terasa di lidah. Kendati hawa dingin membuatku mengantuk dan ingin lebih lama berdiam di kotatsu, entah mengapa aku cukup semangat begitu menapak di wilayah sekolah.
Ini mungkin aneh, tapi aku sering menebak siapa yang datang duluan. Kemarin, aku yang pertama. Kemarinnya lagi, aku juga.
Terus, bila kuputar ingatanku ... rasanya memang selalu aku yang hadir duluan dari kelas satu SMP. Nenek dengan jail menamainya Ritual Kita.
Tidak ada alasan khusus. Aku cuma menyukai keteraturan dan ketekunan yang repetitif. Menjadi orang yang mempunyai plan merupakan kesenangan pribadi.
Apa bakal diberi penghargaan, ya? Misal, murid yang tidak pernah gagal berangkat paling awal. Mengharukan jika momen kelulusan dianugerahi titel semacam itu.
Aku membayangkan sampai jauh一kemudian, pintu kelas terbuka.
Ah, kayaknya rekorku pecah.
.
.
.
"Pagi, Kita-san."
[Surname] berhenti mengurus origami dan menengadah, cengar-cengir. Aku yang bergeming di ambang pintu disadarkan olehnya.
"Selamat pagi."
Agak tersendat menyapa. Dia cekatan menilap kertas warna-warni yang berserakan di meja. Aku menaruh tas, lalu ragu-ragu mendekati.
Kertas itu dibaringkan dalam bentuk wajik, dilipat setengahnya, dan seketika berubah ke segitiga. [Surname] menyambung kegiatannya dalam hitungan sekon. Aku bak bocah yang sedang menanti kembang api meletus, penasaran dan berdebar.
Kala karyanya rampung, gadis yang rambutnya dibiarkan digerai menunjukkannya padaku.
Mulut terbuka lamat-lamat.
"Helm samurai," bisikku.
[Surname] tersenyum, masih dipertanyakan faktor penyebabnya. Dia memandangi replika kabuto dengan puas.
"Aku mau menggarap PR ditemani benda yang berkaitan," ia menjelaskan. Aku menunduk dan menatap lekat helm kertas.
Hubungannya dengan tugas....
Karena dia perempuan yang kreatif, barangkali kamarnya penuh pajangan. Terdapat lembaran yang digambari burung jenjang dan kura-kura diantara origami yang berceceran. Itu pasti coretan [Surname]. Tidak terlalu bagus, masih sketsa kasar.
"Permen seribu tahun," ucapku.
[Surname] mengernyit. Aku mengambil sketsanya dan melembutkan tatapan.
"Aku teringat kantung berisi permen yang dihadiahkan saat Shichi-Go-San. Ilustrasinya persis dengan yang ini. Kau berbakat."
Manisan itu dipercaya membuat anak-anak panjang umur dan sehat. Hewan yang terpampang adalah representasi umur panjang. Aku mendengarnya dari Nenek sewaktu beliau memakaikanku kimono.
Dahulu, tingkat mortalitas anak memang tinggi lantaran sanitasi buruk dan obat-obatan yang belum berkembang. Mereka yang sanggup bertahan hidup melebihi usia tujuh tahun dianggap sebagai keajaiban. Kami ke kuil untuk berdoa mengharapkan pertumbuhan sehat.
Sensasi gulali yang lumer mendadak mengundang nostalgia.
Pipi [Surname] bersemu merah meski suhu rendah. "Aduh, itu belum cantik, tahu."
"Kau bercita-cita menjadi pelukis?" tanyaku. "Ya, bukan nggak mungkin, [Surname]-san mampu menandingi ketenaran Katsushika Hokusai."
[Surname] mengerucutkan bibir. "Mustahil mengalahkan legenda. Ini cuma hobi."
"Lantas?"
Dia memalingkan wajah. Sekilas tampak kesulitan menyusun kalimat. Mataku mencari makna dibalik senyuman yang ia tampilkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝟭𝟵𝟵𝟵
Fanfiction𖥻𝐒𝐇𝐈𝐍𝐒𝐔𝐊𝐄 ᳝ ֙⋆ ˑ ⠀⠀ ⠀⠀dari dulu, 𓄵 bukankah kamu ⠀⠀orang yang altruistis? ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀ haikyuu © haruichi furudate