7

745 175 26
                                    

Besok libur. Aku dan ketiga anggota sedang duduk-duduk di perpustakaan sekolah. Sore ini kami sepakat izin ekskul supaya esai Kodomo no Hi diselesaikan dengan matang.

Opini tentu berbeda, tetapi kami saling membantu dalam pengerjaan. Aku meraih penghapus dan dengan lembut membersihkan kertas yang coreng-moreng.

"Kita-san, boleh pinjam?" Mori mengulurkan tangannya dan meminta sopan. Aku mengangguk, mengoper penghapus padanya.

Porsi kami berbincang terlampau minim. Namun, gumaman dari Hiroshi yang kesal salah menulis kadang terdengar.

[Surname] mengetuk jari ke meja kayu jati. Bosan, ia melirik ke Hiroshi di sisinya, kemudian melongo mendapati teks yang termuat di karangan.

"Hiroshi-san ambisius sekali soal bisbol," ujar gadis itu bernada tercengang.

Hiroshi sontak merona. "Begitu, ya? Hehe."

"Ooh, lihat. Kau berjuang agar bisa bertanding di turnamen bisbol SMA terpopuler一Koshien," Mori menimbrung, sama-sama heboh.

Jelas itu lapangan yang diidamkan banyak pemain. Persaingannya ketat. Ketika diadakan turnamen, media raksasa berbondong-bondong meliput. Segala kalangan bergairah menontonnya. Pemuda ini tampaknya serius mendalami olahraga bisbol.

Aku tak terkejut. Toh klubnya mengajarkan kedisiplinan, dedikasi, kooperasi, dan kerja keras. Pantas dia memeras keringat. Bekal dunia karier.

"Hebat. Semoga berhasil." [Surname] mengacungkan jempol.

Hiroshi jadi malu dan terbata-bata berterima kasih. Aku beralih menatap perempuan dengan bibir berkeluk. Dia yang gemar menulari virus senyum.

"Padahal kolom cita-citamu masih belum disentuh, [Surname]-san."

"Oh, iya." Dia menggaruk belakang kepala dan memegang pulpen. "Sebenarnya karena tidak disetujui orang tua saja, sih."

Air mukanya berubah muram samar-samar. Mori yang duduk di sebelahku menyemangatinya. Aku menaikkan alis dan menampilkan ekspresi masam.

"Kadang, kebimbangan itulah yang menghambatmu."

Memperhatikannya yang kesusahan memihak begini membuatku tak tega. Dia yang terombang-ambing di antara opini orang tua dan kehendak sendiri ... rumit, ya.

Mereka menghening.

Ah? Aku pasti dicap menyebalkan.

.

.

.

"Selamat liburan!" seru Mori.

Kami pulang.

Hiroshi mampir ke ruang klub guna membicarakan perihal rahasia yang tidak boleh dibeberkan. Aku melambai pada Mori yang kian jauh berlari ke halte bus. Selepas itu, aku menengok ke kanan.

Kita menarik ritsleting jaket dan memundurkan sepedanya dari parkiran. Aku memakai sarung tangan, senyap-senyap meniliknya.

Atmosfer menegangkan belum juga reda. Dia rada menciutkan waktu mengatakan saran.

Sepeda dinaiki. Kita berpaling, mengajak dengan datar, "Ayo."

Kode?

Aku menganga. Wah, ini pengalaman baru. Pulang bareng Kita. Buru-buru kutunggangi sepedaku.

Dia menggowes dengan santai. Aku menyusul, mepet di pinggiran.

Jalanan lengang. Kami tak berbicara. Terlintas kesan bahwa dia sosok yang doyan berkontemplasi. Relap di bola matanya betul-betul atraktif.

"Kita-san, maaf."

Kukira tidak diacuhkan, namun ia berdeham.

"Kenapa?"

"Aku tidak tegas," balasku.

Kita diam, mengayuh sepedanya lebih kencang. Aku membelalak, takut salah omong. Dia di depan sana. Punggung tegapnya yang bermandikan kirana oranye bisa leluasa kupandangi.

Kemudian, sayup-sayup Kita berujar, "Dari dulu, bukankah kamu orang yang altruistis?"

Aku terkelu.

"Tachibana-sensei memerlukan jawaban yang jujur. Kau tak sepatutnya berbohong," sambungnya.

Jari menekan rem. Laju sepeda memelan. Sekejap aku sejajar dengannya. Kita tersenyum, dan untuk pertama kali, aku tersihir.

"Cita-citamu mulia. Aku mendukungnya."

Gawat, gawat. Aku merunduk dan mendengkus lirih.

"Kau menguping?"

Kita tertawa halus. "Maaf."

Kupu-kupu ini dari mana asalnya? Aku merespons dengan kekehan. Hatiku tenteram, dan kuyakin aku bisa berteriak andai saja ia tak bersamaku.

Tetapi, terima kasih ya, Kita Shinsuke.

Aku jadi tahu apa yang perlu kuimbuhkan di esai.

𝟭𝟵𝟵𝟵Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang