8

1.3K 188 87
                                    

Setelah libur panjang, kami kembali bersekolah. Aku membawakan sekotak kue tepung beras一kashiwamochi一isi selai kacang merah yang merupakan hidangan istimewa Hari Anak. Kuhadiahkan ke member kelompok yang telah bahu-membahu.

Memakan kue ini dipercaya berakibat nasib baik. Daun kashiwa yang membungkusnya tidak luruh sebelum pohon mampu membesarkan tunas menjadi daun baru. Mitosnya garis keluarga tidak terputus.

Grogi, alasan dibalik keringat dingin yang membasahi pelipis. Ini adalah hari pembagian nilai. Padahal aku sudah mencoba meyakinkan bahwa aku bakal lulus standar kriteria.

Hela napas buat relaksasi.

Tachibana-sensei memanggil murid secara acak, suka-suka. Sekarang giliran Mori.

Aku yang duduk di bagian depan (pergantian rutin) bisa mencuri dengar konversasi mereka.

"Sering-sering putar lagu klasik di radio, ya," pinta sang guru Sejarah dengan entengnya.

"Oke, Pak," Mori menyahut.

Kemudian Sensei memanggil nama Kita. Pemuda tersebut berdiri. Seragamnya rapi sampai aku bertanya-tanya adakah kerutan di sana dan berapa menit disetrika.

Keduanya mengobrol akrab seakan mereka memang ayah dan anak.

Profesi yang Kita tulis, aku penasaran....

.

.

.

"Selanjutnya, [Surname] [Name]-san."

Itu dia.

Gadis yang belakangan menemaniku menggarap tugas. Dia dengan langkah dipenuhi asa menghampiri Sensei.

Dalam sekali pandang, aku mengerti, Sensei sangat bangga terhadap [Surname]. Dari siswa-siswi yang lain, aku tak menyaksikannya tersenyum selebar itu.

Pak Tachibana menyerahkan kertas [Surname]. Nilai sempurna, dilingkari tinta pena tebal. Terdapat postscriptum belasan kosakata.

Aku melihat setitik air di matanya yang jernih.

.

.

.

Kami berempat berdoa di kuil dengan khusyuk.

Hiroshi bersikeras meminjam kamera pamannya untuk perayaan ini. Laki-laki bertubuh tinggi itu menggiring kami ke depan bangunan SMP yang pohon sakura-nya mekar.

Vista serba jambon kami nikmati sambil bersepeda.

Aku membonceng [Surname], sementara Hiroshi membonceng Mori yang heboh berkisah tentang eloknya hasil jepretan bendera koi berlatar cakrawala.

Bagaimanapun, kami yang ajaibnya karib dalam waktu singkat ini harus mengenang momen berharga. Beberapa bulan mendatang, kami lulus.

Fotografernya seorang warga yang kebetulan lewat. Kami berpose formal, riang, dan tidak sungkan merangkul.

Begitu sesi narsis dadakan ini kelar, kami membagikan sewadah nanohana kepada si asing yang rela memotret kami.

Empat lembar foto. Masing-masing memperoleh satu. Wajah kami tampak berseri-seri. Stok gaya yang Mori kuasai banyak juga. Mereka tergelak kala menjumpai mimik jenaka ala Hiroshi.

Aku mengamati lembaran di tanganku.

"Gambarnya cantik. Aku tak paham kenapa kau tidak pede berswafoto," ujarku.

Yang bersuara justru Hiroshi. Dia bersiul, entah kerasukan apa.

"Tahun depan, mari berkumpul di Hari Anak lagi," ajak Mori antusias.

Kami semua mengangguk. Benar, aku takkan mungkin melupakan musim semi ini.

.

.

.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

.

"Shin, sedang merenungkan apa?"

"Oh, tsuma."

Tangannya menyentuh pundakku. Lantas aku tersadar, menengadah dan menatap netranya yang tetap seindah masa remaja meski kerutan di wajahnya muncul tipis-tipis.

Aku menggeleng dan tersenyum simpul, bangkit dari kursi.

"Bukan apa-apa. Bagaimana pekerjaanmu di rumah sakit hari ini?"

[end]

.

.

.

CATATAN

Tsuma : istri.

Hai, terima kasih sudah berkunjung චᆽච

Karena sudut pandangnya gonta-ganti dan alurnya maju-mundur, aku harap nggak membingungkan.

Untuk Ikrar Nightingale, kurasa kalian sudah tau isinya, jadi nggak perlu kujelaskan.

Inspirasi terbesarku untuk fanfiksi ini adalah cerita ketiga anime Flavors of Youth yang mengambil latar di Shanghai tahun 1999. Di sana kita bisa melihat heroine yang dipaksa masuk SMA elite oleh ayahnya. Ketika dia gagal lolos ujian, ayahnya main tangan sampai heroine ini luka-luka.

Aku juga bersemangat menulis setelah menonton video-video UNICEF. Dari situ kita tau bahwasanya banyak sekali anak yang hidupnya kurang beruntung, dan betapa kita nggak pernah jadi terlalu kecil untuk membuat perubahan.

Credit untuk lined paper :
Photo by <a href="/photographer/Daino_16-40392">Daino_16</a> from <a href="https://freeimages.com/">FreeImages</a>

𝟭𝟵𝟵𝟵Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang