6

811 181 27
                                    

Dia adalah murid rajin yang punya reputasi baik di mata pengajar. Tachibana-sensei mengakui perangai Kita hampir perfek.

Ketika membaca susunan kelompok Sejarah dan mengetahui kami dalam satu tim, aku diam-diam gelisah sekaligus bersorak. Bagaimana jika aku tidak sesuai ekspektasinya? Peringkat Kita lima besar, dia laki-laki yang pintar.

Skedul perdana kami yaitu janjian di lokasi kesukaan. Di sekeliling buku berderet lengkap. Aku bertekad takkan telat di hari H sebab kesannya terhadapku akan sangat mempengaruhi. Maka, aku datang paling cepat. Dia rupanya khawatir dan mengira dirinya sendiri yang melupakan jam.

Bukannya itu lucu? Kita yang panik, walaupun tak kentara, benar-benar imut.

Lalu kami mengobrol seputar koinobori. Kita yang mengungkit topik tersebut. Aku kaget tatkala ia memuji gantungan yang kubeli, menyebutnya klop dengan acara.

Apa dentingnya kelewat keras sehingga Kita angkat suara? Tapi dia antusias mengikuti alur dan kami berakhir membaca buku Hari Anak bersama dalam suasana hangat.

Aku bersyukur pula atas kedermawanan Tachibana-sensei. Seharusnya esai ini menjadi tugas individu. Beliau meringankannya dengan membentuk kelompok agar kami bertukar pikiran. Meski hasil tetap dinilai masing-masing, presensi Kita, Mori, dan Hiroshi sedikit banyak membuka mataku.

.

.

.

"Lantas?"

Kuhela napas kemudian mengerling ke arahnya. Bahkan binar di netranya yang pucat teramat menarik untuk terus kupandangi.

.

.

.

Masyarakat menanti Minggu Emas. Tidak hanya pegawai yang penat berdinas, siswa yang jenuh dengan rutinitasnya, tetapi juga para penyiar.

Tahun ini, perkiraan orang yang bepergian di Minggu Emas mencapai lebih dari 20 juta. Berkah bagi penyiar, dalam libur berturut-turut berskala besar, jumlah pendengar radio melonjak tajam.

Aku yakin kakaknya Mori dikejar kesibukan, tetapi bergembira dengan kerepotannya itu.

"Menjadi penyiar harus senantiasa berbahagia, karena tugas kami menghibur audiens," cerita Mori. Ia mengusap helai rambut sewarna karamel dan terkikik.

"Mengedarkan kabar, fakta, berita, dan drama. Penyiar sangat memikat. Aku menghargai mereka."

Mori bersungguh-sungguh. Aku diam-diam kagum.

"Kalau [Surname], apa cita-citamu?"

"Belum mantap. Lagipula alasanku tidak istimewa."

Kami tengah duduk di kantin. Aku menyantap roti melon. Mori menggeleng menanggapi. Dengan remah biskuit yang mengotori ujung bibir, dia bilang, "Itu bukan perkara. Yang penting, kau berkomitmen mewujudkannya."

Lagi-lagi Mori mengucapkan sesuatu yang keren.

Aku cengengesan. "Impianku tidak muluk."

Seraya bertopang dagu, aku menuturkan, "Aku ingin memajukan kesejahteraan umat manusia."

Aku merasa lapang dan lega usai menyatakannya. Ganjalan di dada seketika sirna.

Tapi, kilatan itu ... Mori tidak berkaca-kaca, kan?

Mori menepuk punggungku dengan kekuatan tak main-main. Selanjutnya, dia memelukku erat. Biarpun sakit, aku membalas dekapannya.

Jangan-jangan, giliran dia yang terpesona.

𝟭𝟵𝟵𝟵Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang