28 January 2020 (Day-143)
Tring. Sebuah pop up notifikasi muncul di smartphone. Kulirik sekilas smartphone yang aku letakkan di atas microwave di samping kanan tubuhku, ah ada message yang masuk di DM Instagram. Kumatikan kompor elektrik yang diatasnya terdapat sebuah panci berisi air mendidih. Pip pip pip. Angka di kompor elektrik berubah perlahan menjadi angka 0.
Kubawa sebuah gelas berisi hot chocolate di tangan kiri sementara tangan kananku memegang smartphone. Mengetuk layar sambil membaca DM yang masuk pagi itu.
'Ah lo kan tiap hari juga weekend disana, jalan-jalan mulu kerjanya'
Kedua alisku bergerak ke atas, aku sedikit mengernyit membacanya. Entah keberapa kali pesan dan ucapan senada aku terima. Enak aja. Kataku dalam hati. Aku yang tak terima segera mengetik pesan balasan.
'Gue masih kerja kali beb. Liburnya juga weekend doang' . Kutambahkan emoticon smiley tertawa dengan air mata kesamping di akhir pesanku. Biar nggak dikira ngegas, hehe.
Mungkin kalau baru sekali dua kali aku terima pesan seperti ini akan aku tanggapi santai dan jadikan bahan jokes. Tapi belakangan, aku merasa harus sedikit meluruskan kalau aku kesini bukan untuk foya-foya belaka. Ada tujuan dan cita-cita yang sedang aku perjuangkan.
Seen. Sebuah tulisan di bawah pesan yang barusan aku kirim.
'Oh lo kerja apaan? Bisa ya kerja disana?'
'Ada lah, beberapa. Bisa, di visa gue boleh kerja'
'Kerja aneh-aneh ya lo?'
Sumpah kepo-nya ngeselin nih anak. Aku jadi terpaksa mengingat-ingat lagi pengalaman kerja dari awal selama disini.
***
5 October 2019 (Day-32)
Selapis baju batik tidak mampu melindungi badanku dari dinginnya hembusan angin pagi itu. Aku yang baru saja turun dari sebuah Lothian bus di daerah Princess Street segera mengenakan winter coat berwarna coklat yang sedari tadi aku tenteng di lengan.
Kami berempat, aku, pak suami, Tyo, dan Adel berjalan beriringan menuju lokasi tempat acara hari ini. Sambil berjalan kami sibuk membahas kemungkinan-kemungkinan ending acara yang sudah kami tunggu-tunggu sejak dua minggu yang lalu.
Hampir sepuluh menit berjalan, tibalah kami di depan sebuah bangunan stasiun di tengah kota, Edinburgh Waverley Station. Stasiun hari itu tampak lengang, mungkin karena masih pagi. Setelah melewati deretan gerai makanan fast food, convenience store, hingga money changer, kami berbelok ke arah titik temu yang telah disepakati.
Dari kejauhan tampak segerombolan muda-mudi yang mengenakan winter coat dan jaket, dengan baju beragam warna dan motif. Ya, mereka semua mengenakan batik, pakaian khas kebanggaan Indonesia yang selalu kami gunakan dalam acara-acara resmi yang menandakan identitas kami sebagai warga negara Indonesia disini.
Hari ini salah satunya. Hari dimana kami memperingati hari Batik Nasional yang sebetulnya jatuh pada tanggal 2 Oktober. Tapi sejujurnya bukan itu yang membuat aku dan teman-teman yang lain semangat datang ke acara hari ini.
Hari ini adalah hari pengumuman hasil pemilihan ketua PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) PPI yang baru, PPI 19/20. Pemenang pemilihan hari ini akan menentukan arah PPI Edinburgh selama satu tahun kedepan, sekaligus mempengaruhi hubungan sosial antara semua pelajar yang akan diayomi dalam wadah organisasi ini.
Sambil menunggu seluruh pelajar dan keluarganya berkumpul, kami menyapa beberapa orang yang sudah datang. Aku bergabung dengan empat orang yang sedang berbincang membentuk setengah lingkaran di salah satu sisi. Setelah berkenalan sambil menjabat tangan mereka, aku ikut larut dalam obrolan mereka saat itu,
KAMU SEDANG MEMBACA
The City of Edinburgh
Não FicçãoThe City of Edinburgh adalah catatan perjalanan kami, insan-insan muda yang tengah berjuang meraih mimpi di negeri orang, tepatnya di ibukota Scotland, United Kingdom. Perjalanan kami dimulai di musim gugur 2019, dengan berbagai pengalaman (plus cul...