Bertemu

94 30 9
                                    

Perasaanku sudah tak karuan ketika Marco--calon kakak iparku--mendekat dengan iringan beberapa cewek di belakangnya. Begitu besar pengaruhnya sampai mereka memperlakukan Marco layaknya idola.

Tubuh tingginya dibalut sweater warna salem, membuat kulit putih itu makin bercahaya. Maaf jika berlebihan, tapi yang aku lihat memang seperti itu. Atau mungkin karena cahaya matahari yang menyorot pagi ini. Tapi, yang jelas calon kakak iparku ini terlihat sangat menawan. Juga sangat amat mirip dengan ekhem, calon suamiku. Mereka kembar identik omong-omong.

Senyumnya makin lebar ketika jarak kami makin dekat. Senyum serupa yang akan membuat mu berpikir dia akan memenuhi segala keinginanmu. Hanya sedikit terlihat lebih manis ditambah dengan kedua lesung pipit.

Aku menatapnya tanpa berkedip. Kegamanganku membuat tawanya meluncur keluar. Sedetik kemudian aku sadar, sudah ada kerumunan cewek di belakang Marco. Mereka masih memberikan tatapan mengagumi yang berlebihan padanya. Aku merasa sebentar lagi akan ada gosip heboh tentangku.

"Hai."

"H-hai."

Aku merasa tersudut, padahal dia baru menyapa. Kecemasanku akan statusnya membuatku ingin menghilang saja. Sekarang pasang mata itu kini menatapku heran. Aku meringis pada Giana yang ikut melogo.

"Padahal kemarin aku mau nganterin kamu pulang, kok main nyelonong aja?"

Alisku bertaut, berpikir ke mana arah pembicaraan Marco. Kupikir dia tau jika lima menit yang lalu aku masih mengira ia seorang penjahat dan maksudku menghindar kemarin adalah karena dugaan bodohku.

Marco mengabaikan diamku, dia tersenyum simpul. Tangannya terjulur mengusak rambutku. "Kamu pasti grogi ketemu sama calon kakak ipar."

Setelah tiga kata terakhir yang disusul dengan pekikan kaget dari "fans" Marco, aku dengan sigap membawanya pergi dari sana. Mengamankannya--juga diriku--sebelum diberondong pertanyaan mengenai maksud perkataan Marco.

Kukira Marco lebih kejam dari seorang psikopat, dia bisa membuat sisa hariku di kampus menjadi mengerikan. Aku ingin marah, mencecarnya dengan kaliamat yang lebih sadis dari kemarin. Namun, bayangan Nyonya Aditjandra juga Oma melintas, mengendurkan emosiku.

Seperti tidak perlu merasa bertanggung jawab atas keriuhan tadi, Marco malah dengan santainya mengabaikanku. Marco itu alumni kampus ini, jadi mungkin dia memanfaatkan momen ini untuk sekalian mengenang masa mudanya dahulu. Kelihatan itu lebih penting dari pada meminta maaf padaku.

"Padahal dulu bangku di sana cuma sedikit loh. Kami bahkan harus berebut buat bisa duduk-duduk," ungkapnya menggerakkan dagu ke arah deretan bangku di gedung seberang. "Bangku yang kamu duduki dulu juga nggak ada," sambungnya.

Aku mengikuti arah pandangnya. "Baru dibuat lagi pas gue masuk di sini," seruku.

Puas setelah memindai perubahan pada kampusku, Marco berjalan mendekat. "Gimana kuliah kamu di sini? Aku dengar dari Mama sebentar lagi kamu wisuda."

Aku mengangguk, senyumku terbit mengingat kelulusanku yang sebentar lagi di depan mata. "Dua bulan lagi."

"Mama pinter banget cari calon menantu. Udah pinter, mau ngurusin dapur lagi."

"Maksud lo?" Aku menautkan alis, tidak mengerti.

"Kamu pakai yang sweetheeart, 'kan? Nanti kubeliin sekardus buat persediaan kamu setelah nikah." Tawa nyebelinnya keluar.

Merasa tersinggung dengan yang Marco katakan, aku menendang tulang keringnya hingga dia mengaduh. Celana jeans-nya menjadi kotor akibat debu sepatuku. Ringisannya membuatku mendengkus, seharusnya kupatahkan saja tulangnya tadi.

Marrying The CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang