Diajak Nikah

60 16 4
                                    

Sepanjang perjalan menuju ke rumah tak ada satu pun kalimat yang mengisi kosong di antara kami. Bahkan Marcell nggak mau repot untuk menyalakan radio atau sekedar bertanya apa perlu menyalakan pendingin.

Aku nggak menyinggung sama sekali kalimat terakhir Marcell sebelum kami pergi tadi. Mungkin belum, aku merasa tidak bebas mengobrol dengannya jika dia sendiri seperti nggak mau melihatku. Aku jadi menerka-nerka apa yang membuatnya berkata kejam seperti tadi.

"Parkir di sini boleh, 'kan?"

Aku tersentak dari lamunanku. Marcell sudah membuka sabuk pengaman dan bersiap keluar. Aku kemudian menyusul, sebelumnya aku mengambil beberapa lembar tisu. Aku berpura-pura tidak kegerahan sedari tadi. Jahat sekali Marcell membuat make-up ku luntur.

Marcell melirikku dari bahunya, tanpa menggandeng tanganku dia melangkah menyebrang jalan.

Begitu di depan lorong, seorang tukang ojek bersiul ke arahku. "Tumben Neng Tsania dandan cantik, biasanya seragamnya cuma celana pendek sama kaos doang."

Aku tersenyum pada Mang Baid, ojek langgananku. "Iya, Mang, habis dari rumah temen, hehee," Tawaku terdengar terpaksa.

"Yang itu?" Tunjuknya pada Marcell yang berjalan jauh di depanku.

Aku mengangguk. "Duluan ya, Mang."

Aku menyusul Marcell dengan berlari kecil. Cepet banget sih jalannya, kayak dia yang tau rumah gue aja, batinku.

Benar dugaanku dia malah berdiri seperti orang bodoh di depan warung sembako, menungguku. Kedua tangannya mengipasi tubuhnya dengan mengayunkan kaos bagian depan, sebagian perutnya jadi terekspos. Kebetulan saat itu ada seorang remaja cewek yang sedang belanja. Ketika matanya menemukan pemandangan menyegarkan itu, spontan dia langsung cengo.

Penghuni lorong ini memang asing dengan sosok kayak Marcell. Bukannya tidak ada ya. Aku kenal kok beberapa remaja yang penampilannya good looking. Anak Pak Burhan misalnya, aku sering melihatnya gonta ganti membonceng teman ceweknya. Jangan tanya mereka siapa, aku malas menceritakannya.

Kami sampai di rumah kecil dengan halaman hijau berpagar pendek. Aku mendorong pagar dari kayu, membiarkan Marcell masuk. Matanya memandang sekeliling rumahku.

Kedua tangannya bersedekap, "Kamu tinggal sendirian, 'kan?"

Aku berjalan menuju pintu, membuka kunci lalu menjawab, "Iya, kenapa?"

Dia menggeleng, tanpa aku suruh Marcell berjalan dahulu kemudian duduk di sofa lama yang sudah usang. "Es kosong dong, panas nih. Ada kipas angin nggak? Bawa ke sini, ya."

Aku berdecak mendengar keinginan putra mahkota Aditjandra. Dengan menahan kesal aku memenuhi semua keinginannya. Ingat, tamu adalah raja.

Aku meletakkan segelas besar air es dan setoples biskuit di depan Marcell. Aku juga dengan senang hati bersusah payah merepotkan diri sendiri dengan menggeret kipas angin yang berada di kamar. Pelayanan untuk putra mahkota harus maksimal. Aku juga menyalakan televisi, dan bertanya apa dia ingin aku belikan sesuatu.

Marcell menggeleng, sambil duduk selonjoran dia menonton berita kriminal. Tangannya sesekali mengambil biskuit di dalam toples.

"Emang gue seburuk itu di mata lo?"

"Hah?" Putra mahkota rupanya terlalu nyaman sampai melupakan tuan rumah.

"Maksudnya manggil gue cewek slebor apa?"

"Ooo ... kamu memang cewek slebor. Buktinya cara makanmu kayak orang nggak makan setahun," jelasnya dengan santai.

Aku lantas berdiri dari dudukku. Kupukul kursi yang aku duduki karena merasa kesal, inginnya kepalanya yang kupukul.

Marrying The CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang