Disuruh Kencan

59 17 16
                                    

Kata Nyonya--maksudku Tante Mira, Marco itu memang super duper jahil. Dia nggak akan segan melakukan tindakan usil kalau mengenal korbannya. Tante Mira menyebutkan sederet keusilan yang pernah dilakukan Marco semasa hidupnya. Kupikir keanehannya sudah mendarah daging, bayangkan saja dari kecil dia sudah hobi menjahili teman-temannya, beberapa bahkan sampai tidak mau lagi berteman dengannya.

Tante Mira menambahkan, Marco bertingkah begitu karena tidak mempunyai teman. Marcell yang notabene adik kembarnya lebih senang mengisi waktu dengan deretan angka atau bacaan rumit yang tidak diminati Marco. Dari sini aku tau jika Marco dan Marcell adalah dua pribadi yang bertolak belakang.

Jika Marcell cenderung tertarik pada ilmu pengetahuan maka Marco menaruh minatnya pada bidang seni. Sulung Aditjandra itu punya bakat melukis yang hebat. Dia punya deretan piala yang disimpan di gudang saking banyaknya. Yang paling luar biasa adalah Marco pernah menggelar pameran solo di Art Porters di Singapura. Diam-diam aku memuji Marco dalam hati.

Setelah diberi penjelasan demikian aku jadi paham mengapa Marco menjahiliku. Meski begitu Marco tetap harus mendapat balasan. Paling tidak aku harus membuat satu memar ditubuhnya. Ingatkan aku untuk melakukannya.

Sekarang hanya ada aku dan Tante Mira di gazebo, Om Ghandi sudah kembali ke kantor, sementara dua anak kembarnya sibuk dengan urusan masing-masing. Terakhir aku melihat Marco pergi mengenakan setelan rapi. Tante Mira bilang dia ingin menemui temannya. Lalu Marcell, kami bertemu ketika aku membantu Bik Inah membereskan piring. Dia meminta sepiring buah-buahan untuk diantar ke ruang kerja. Setelah itu sosoknya tidak lagi terlihat sampai sekarang.

Gazebo ini bisa dikatakan kecil karena hanya bisa diisi dua orang. Ada banyak tanaman yang ditanam di sepanjang pagar. Aku mengenal beberapa tanaman di sana. Ditengah, diletakkan satu set meja dan kursi rotan. Kita bisa memilih untuk dipayungi kanopi jika cuaca sedang terik seperti sekarang. Tante Mira bilang aku bisa menambahkan beberapa tanaman di sana jika mau. Aku sangat antusias mendengarnya. Tadi aku bilang kalau aku punya lusinan tanaman di rumah. Jadi, beliau memintaku untuk ikut merawat tanaman miliknya.

"Makanya kami pengen rumah ini bisa bertambah anggota lagi secepatnya, Tsa, soalnya ya itu anak-anak pasti pada sibuk sendiri," keluh Tante Mira. "Padahal jarang banget bisa kumpul kayak sekarang."

Aku paham bagaimana kesepian yang dirasakan Tante Mira. Beberapa minggu terakhir aku merasakannya. Aku meraih tangannya kemudian menepuknya lembut.

"Tante kalau bosan bisa telpon saya, kita bisa ghibahin mereka kayak tadi," anjurku padanya.

Dia tersenyum ke arahku. "Tante, bosannya sepanjang hari, masa mau ganggu kamu seharian?" ucapnya merasa sungkan.

Aku menggeleng, kemudian bersuara, "Saya juga kesepian, temen saya cuma satu. Terus sebentar lagi dia mau nikah. Jadi, nanti saya nggak punya temen gosip lagi."

"Kalau gitu kamu juga nikah dong, biar bisa setiap hari kayak gini sama Tante,"

Aku menipiskan bibir ketika kalimat perintah itu meluncur. Mendadak kepalaku kosong, tidak tau harus menjawab apa. Aku mengangguk kikuk sembari mengulas senyum hingga mataku menyipit. Itu kalimat jebakan.

"Mama."

Panggilan itu mengalihkan situasi canggung yang melandaku. Di depan pintu kaca Marcell berdiri dengan pakaian santai. Kaos polo biru didominasi dengan celana katun hitam membungkus tubuh tegapnya. Aku pikir dia ingin pergi ke suatu tempat. Dari tempat aku duduk kulihat dia mengacak rambutnya. Wajahnya tidak terlihat jelas, jadi aku tidak bisa memastikan responnya begitu melihatku.

"Jadi nggak perginya?"

Aku melirik pada Tante Mira, dalam hati bersorak senang karena sebentar lagi bisa "bebas".

Marrying The CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang