Mungkin sebagai murid masih ingat saat dimana kita pertama kali mendapat kabar kedatangan tamu yg tak pernah diharapkan. Dan saya kira bukan hanya kita para murid, tapi juga semua insan di muka bumi. Yah, tamu itu adalah virus mematikan asal Wuhan, China.
Saya masih ingat awal kemunculan virus itu di Wuhan. Saat itu rakyat Indonesia tampak sepele dengan virus itu. Sampai suatu saat virus itu benar benar masuk ke Indonesia. Sebagian bersar orang orang terkejut dan takut. Tapi masih ada sebagian yg sepele dan tak perduli.
Saat itu sekolah diumumkan untuk cuti selama dua minggu. Semua murid tampak senang dengan berfikir hanya dua minggu, dan itu hanya liburan biasa. Yg tak biasa adalah, liburan kali ini masih tetap mengerjakan tugas. Kira kira itu terjadi pertengahan atau akhir bulan Maret, saya agak lupa.
Banyak murid kesulitan belajar online. Mulai dari yg tidak paham dengan pelajaran, sampai ke murid yg berasal dari keluarga kalangan bawah yg tidak punya HP atau kesulitan membeli kuota internet. Bahkan ada yg kesulitan pada jaringan dirumah nya. Seperti murid murid di pedalaman yg tak punya akses internet di kampung nya.
Saya memang tidak paham dengan kesulitan murid murid yg kesulitan dalam akses internet. Tapi untuk yg tidak punya HP, saya cukup paham walaupun tidak sepenuh nya. Itu karena sebagian teman saya juga tidak punya HP, dan menggunakan HP kakak atau abang nya, atau juga HP orang tua nya. Gak terbayang disaat bersamaan mereka harus menggunakan HP disaat yg sama. Disaat semua orang harus berkegiatan dirumah. Bayangkan saja jika dalam satu rumah hany punya dua HP seperti saya. Atau bahkan satu.
Jujur, HP saya digunakan oleh seluruh keluarga. Sedangkan HP abang saya tidak bisa digunakan untuk sekolah karena punya urusan sendiri.
Disaat saya hendak belajar, disaat itu juga adik saya harus belajar. Bahkan terkadang disaat yg sama orang tua saya memerlukan HP saya untuk berkomunikasi. Dan disaat seperti itu harus ada yg mengalah. Terkadang saya duluan yg mengerjakan tugas, kemudian adik saya. Setelah itu baru lah orang tua saya. Begitu setiap hari nya.
Untuk sekolah saya, kami belajar melalui web sekolah. Ada tugas yg dikirim seperti PDF. Kami men-download nya dan kemudian kami kerjakan di kertas double folio. Awal nya HP saya tidak bisa membuktikan file PDF. Saya tentu saja panik. Tidak tau harus berbuat apa. Kemudian saya pinjam HP abang saya untuk membuka file itu dan di SS kemudian dikirim kepada saya lewat Messenger karena abang saya juga memerlukan HP nya. Selama satu minggu terus seperti itu. Sampai saya download apk google Drive di play store.
Awal sekolah masih biasa saja. Mungkin sedikit terbebani karena tugas terasa lebih banyak dibanding sekolah biasa dengan bertatap muka. Ditambah materi yg tidak disertai penjelasan yg membuat pelajaran sulit diterima di otak.
Oh ya, saat itu saya duduk dibangku kelas 8 menuju ke bangku kelas 9.
Mungkin untuk pelajaran seperti IPS, PKN, SBK dsb, masih bisa kita pahami sendiri. Tapi untuk pelajaran Matematika, tentu itu sulit.
Selama dua minggu yg lumayan berat itu, semua berharap akan kembali seperti semula. Tapi tidak, justru keadaaan semakin buruk. Semakin banyak korban. Dan akhir nya masa stay atau home diperpanjang. Sekolah dan bekerja dari rumah.
Semua orang mengeluh. Tak terkecuali para murid. Tak terbayang harus belajar tanpa bertatap muka, memahami setiap materi sendiri nya.
Beberapa minggu berlalu, semua tampak melelahkan. Tak ada satupun materi yg masuk ke otak. Hanya menulis catatan yg banyak dan mengerjakan soal. Tak ada niatan untuk mencari dibuku atau di catatan yg diberikan, melainkan mencari ke-simple-an dengan hanya mencari di google. Jujur saja lah, pasti rata rata murid seperti itu.
Disekolah kami, setelah mengerjakan tugas dari file PDF yg dikerjakan di double folio, kami mengirim nya melalui WA atau Google Classroom.
Presentasi pun dilakukan dengan membuat video yg kemudian dikirim kan kepada guru. Terkadang ada yg kesulitan mengirim video melalui WA. Mungkin karena durasi yg panjang. Saya sendiri pernah mengelami hal itu. Saya kesulitan mengirim video melalui WA. Bahkan ketika saya hendak mengirim melalui e-mail juga tidak bisa karena durasi yg panjang. Sampai akhir nya saya bilang pada guru saya bahwa saya tidak bisa mengirim nya. Untung saja guru saya pengertian dan mengatakan tidak masalah, nilai saya akan tetap ada dengan syarat ketika bertemu ibu itu, saya harus menunjukkan video itu.
Hampir satu bulan virus Corona menetap di negeri kita sampai bulan Ramadhan tiba. Dan sekolah masih berjalan dengan online. Beberapa hari libur diawal Ramadhan, tapi saya tetap mengerjakan tugas.
Biar saya beritahu, sekolah kami mengirim tugas ke web itu perminggu. Jadi setiap minggu ada sekitar 14 mata pelajaran yg dikirim, dan terserah kami mau mengirim nya kapan saja asal tidak lewat dalam kunjung waktu seminggu itu. Jadi disaat hanya ada libur beberapa hari, banyak murid di sekolah kami yg memutuskan mencatat materi yg belum dicatat. Karena biasa nya kami mendahulukan soal yg kami kerjakan dengan google agar cepat dikirim, sedangkan catatan kami catat saat ada perintah guru mengirim materi.
Thanks udah baca...
Jangan lupa vote and follow akun author..
Semangat terus belajar online nya ya..
Jangan pernah berhenti berharap dan berdoa agar pandemi ini cepat berlalu dan semua nya berjalan normal seperti dulu lagi..
Dan yg terakhir..
Stay at home😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekolah Di Tengah Pandemi
NonfiksiIni sedikit curahan hati saya selama masa belajar dari rumah. Yah, hitung hitung buat kenangan untuk nanti. Mungkin isi nya gak cuma saya yg rasain, tapi banyak murid. Dan seperti nya ini adalah catatan kecil untuk menjadi kenangan tersendiri. I...