Uzumaki Naruto menggeram berkali-kali. Hari ini adalah awal dari hasil gelar yang kini tersemat di belakang namanya. Berhasil menjadi ahli bedah di usia tiga 30 tahun, suatu hal yang sangat membanggakan. Ia kira pekerjaan yang mudah akan mengikutinya seiring dengan pengalamannya belajar bertahun-tahun, yang memang butuh perjuangan berat. Namun saat ia menginjakkan kaki di sebuah rumah sakit, Izanami Hospital, semuanya berbeda. Keahliannya tak berarti apa-apa di hadapan para jajaran dokter yang lebih senior darinya.
"Rasanya sia-sia. Enam kali operasi hemoroid dalam sehari, apa itu yang disebut operasi sungguhan?" bahkan ia tak diijinkan menangani pasien traumatic, dan malah berakhir menangani kasus yang menurutnya ecek-ecek.
Tubuhnya lemas tak bersemangat, bersandar pada meja yang berisi gadis perawat yang memandangnya malas. Sudah seminggu Naruto mengeluh. Sepertinya dia menyesal menjadi dokter.
"Setidaknya kau sudah meringankan beban mereka. Berhentilah mengeluh." Yamanaka Ino mulai bosan. Ia tidak berniat menanggapi Naruto, namun pria itu terus datang ke ruangannya dengan dalih keamanan. Yah, ia bisa langsung menjadi pengangguran jika mengoceh di tempat lain. Banyak mata dan telinga yang akan membuatmu didepak dari rumah sakit ini. Padahal Naruto butuh kembalian modal atas biaya belajarnya selama ini.
"Heh kau, kenapa di sini?"
"Kau yang kenapa, mengganggu saja." Haruno Sakura menyibak lembar materinya dengan kasar. Ia harus belajar untuk ujian residen tahap menengah, namun si pria jabrik itu selalu mengganggunya dengan suaranya yang super berisik.
"Heh kau tahu." Naruto menyabet paksa modul yang ada di tangan Sakura.
"Kembalikan bodoh!"
"Heh sopanlah sedikit. Aku seniormu!"
"Persetan!"
Sakura merebut ulang kembali modul miliknya. Dipikir dia tidak serius tentang belajar? Dasar pria rubah tak punya otak. Apa dia benar seorang dokter?
"Lihat aku. Belajarmu akan sia-sia tahu?"
"Akan lebih sia-sia jika mendengar ocehanmu."
"Gadis ini----aargh."
Naruto menggeram gemas. Dua jam lagi ia akan menangani dua operasi hemoroid, lagi. Dan itu yang membuatnya frustasi dengan profesinya.
"Ada dua kemungkinan jika kau lulus suatu saat nanti."
Sakura menutup bukunya kembali. Ia melirik ke arah Ino yang sudah menyumpal telinganya dengan earphone. Sialan, dari mana dia menemukan benda itu. Lalu menatap kembali Naruto dengan mata kesalnya.
"Apa! cepat katakan! Lalu pergilah dari sini."
Naruto tertawa. Tawa yang sama sejak Sakura mengenal pria itu di universitas dulu. Dia adalah senior dua tingkat di atasnya, dan sebuah kebetulan mereka tinggal di apartemen yang sama walau beda lantai. Naruto adalah seorang yang friendly dan asik. Kecanggungan tak akan terjadi jika sedang bersamanya.
"Pertama, kau akan menjadi dokter specialis ambeien seperti yang kulakukan sekarang, kedua---- kau akan berakhir gila seperti anak kepala rumah sakit ini," bisik Naruto yang membuat Sakura tertawa sumbang.
Gadis itu menghela napas. Menghampiri Naruto lalu menepuk jas putihnya lembut, "Maaf," ucapnya dengan seringai mengejek.
Naruto meneguk ludahnya. Mempersiapkan diri jika saja Sakura akan memukul kepalanya seperti dulu, saat ia tak sengaja memasuki apartemennya dan mendapati Sakura yang tertidur dengan pakaian mini.
"Pertama, aku tidak akan berakhir sepertimu. Kau saja yang tidak beruntung. Kedua—yang gila itu kau. Jadi-- pergi dari sini sekarang!"
Dan tepukan halus itu berubah kasar. Sakura mendorong Naruto ke pintu dan memaksanya keluar. "Cari tempat lain, jangan mengganggu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Doktor Room
FanfictionMempunyai sedikit waktu untuk diri sendiri adalah impian mereka. Namun Izanami Hospital sepertinyai tidak mengijinkan mereka untuk bersenang-senang meski sebentar. Cinta dan persahabatan tiba-tiba saja tumbuh di tengah kerasnya dunia medis. keprofe...