Dio melesatkan mobilnya dengan tidak sabaran. Sebelah tangannya yang lain berusaha menghubungi Kelsie melalui car kit handsfree yang terhubung langsung dengan audio di kabin mobilnya. Berhasil tersambung, tapi tidak kunjung diangkat. Mau tidak mau, Dio mencari tahu keberadaan Kelsie melalui aplikasi pelacakan yang sudah dia instal di ponsel Kelsie secara diam-diam.
Posisi Kelsie berhasil terlacak dengan mudah. Rupanya wanita itu pergi ke sebuah game station yang ada di pusat kota. Aneh memang. Untuk apa dia ke sana? Meluapkan kekesalan di game station?
"Ayah, bukankah sudah kubilang untuk tidak menyentuh apa yang sudah menjadi milikku?" cerocos Dio saat teleponnya langsung diangkat oleh Samuel. Nada bicaranya terdengar jelas sedang menahan emosi.
"Kau sedang mabuk? Aku tidak mengerti apa maksudmu."
"Gianna pulang ke Indonesia. Itu rencana Ayah, kan? Apa Ayah masih belum ingin berhenti menjodohkanku dengannya?"
Hening, untuk beberapa detik yang mendebarkan. Dio benar-benar takut kalau ayahnya mengiyakan pertanyaannya barusan. Mengingat ayahnya bukanlah tipe orang yang mudah melepaskan dirinya begitu saja untuk bertindak sesuka hati.
"Loh, Gianna sekarang ada di Indonesia? Alberto belum bilang apa-apa sih pada Ayah."
Dio melirik ke arah layar yang ada di kabin mobilnya. Jika bukan ayahnya, lalu siapa dalang di balik semua kekacauan ini? Sebuah telepon lain masuk ke dalam layar notifikasi ponselnya, dan itu membuatnya langsung tersadar.
"Ayah, aku akan menghubungimu lagi nanti." Dio mengakhiri panggilan telepon dengan ayahnya, lalu buru-buru mengangkat telepon lain yang sudah menunggunya untuk segera diangkat.
"Kau suka kejutan yang kuberikan?"
Suara Dylan seakan menamparnya dengan keras. Kedua tangan Dio tanpa sadar meremas kemudi mobilnya erat hingga buku-buku jarinya memutih.
"Kau...," Dio menggeram. "Apa yang sebenarnya kau inginkan, huh?!"
"Aku? Ayolah, dari dulu kau sudah tahu apa yang kuinginkan."
"Sial, kau masih menginginkan posisi CEO itu?! Sampai berbuat sejauh ini?? Sudah kubilang berkali-kali, bukan aku yang merebutnya, tapi ayahmu sendirilah yang memaksaku, dasar brengsek! Dia bahkan mengancam akan menyingkirkan ibuku kalau aku tidak menurut!"
Dylan malah menertawakan ketakutan Dio. Membuat kinerja jantung Dio semakin terkuras.
"Ah, itu sudah tidak penting lagi sekarang. Hanya satu tujuan yang ingin kucapai sebelum mati."
"Apa?"
"Melihatmu hancur."
***
Seorang wanita terlihat memasang kuda-kuda sambil menumpukan segenap kekuatan di kepalan tangannya sebelum kemudian memukul bantalan punch game dengan tenaga penuh.
You got 1000 points!
Dio menyaksikan Kelsie yang sedang bermain permainan punch game pinggiran jalan itu dari jauh. Dio tahu betul gadis itu sedang berada di puncak kekesalannya, dan memainkan game itu hingga meraih poin tertinggi adalah pelampiasan terbaik.
Kelsie baru akan memasukkan koin untuk bermain lagi ketika Dio datang menghampirinya. Wanita itu lalu menoleh.
"Kel, ayo kita bicara," ajak Dio sambil menatap kedua mata sembab wanita itu.
"Bicara di sini saja, Bos."
Dio merasa tidak yakin jika harus berbicara di tempat ramai seperti ini. Meski memang lebih ramai dan berisik di dalam dari pada pinggir jalan. Arena game station itu cukup luas, pemiliknya sengaja meletakkan mesin-mesin mainannya hingga ke bahu jalan.
Dio memberanikan diri untuk menggenggam jemari-jemari Kelsie yang terasa dingin, dan gadis itu tidak menolak. Kini tubuh mereka saling berhadapan. Pandangan mereka bertemu.
"Aku merasa perlu meluruskan satu hal, dan kau harus mendengar penjelasan itu langsung dari mulutku sendiri. Gianna bukan tunanganku. Hubungan kami hanya sebatas teman yang bersekolah di tempat yang sama. Tidak lebih."
"Tapi dia lebih cantik dariku!"
Dio mengerjapkan matanya. Kedua alisnya terangkat. "Jadi kau kesal karena merasa dia lebih cantik darimu?"
Kelsie mengangguk. "Dia memang lebih cantik dariku. Bahkan sangat-sangat cantik! Makanya aku percaya ketika dia bilang kalau dirinya adalah tunangan yang sudah dipilih oleh ayahmu."
"Ohh, astaga." Dio memijit dahinya pelan. Kekhawatirannya sudah berlebihan. Dunia seorang Kelsie Amanda memang sulit untuk dimengerti, namun terasa begitu menarik.
Dio menghirup napas dalam-dalam sebelum kembali menatap gadis itu. "Tapi sekarang kau percaya padaku?" tanya Dio seraya mengusapi bekas air mata yang telah mengering di kedua pipi gadis itu dengan ibu jarinya.
Kelsie menampilkan senyum cantiknya. Salah satu jenis senyuman yang paling disukai Dio di dunia ini selain ibunya. Ibarat sebuah heroin bagi seorang junkies, yang rela menukar apapun hanya untuk memiliki barang haram tersebut. Begitu juga dengan Dio, yang rela menukarnya dengan apapun asalkan senyuman itu dapat terus dia lihat.
"Iya, Bos. Tentu saja aku mempercayai kata-katamu. Maaf telah membuatmu khawatir." Kelsie memandang Dio sambil memeluknya erat.
"Kau juga percaya kan, kalau kubilang aku sangat-sangat mencintaimu?" ujar Dio lagi. Tangannya masih belum teralih dari wajah Kelsie.
"Te-tentu saja."
"Aku sangat mencintaimu, sekalipun suatu saat aku berubah menjadi tolol dengan mengatakan aku membencimu, hatiku akan tetap selamanya menjadi milik seorang Kelsie Amanda... Kau mengerti, kan?" ulang Dio namun dengan menatap matanya begitu dalam. Salah satu tangannya kemudian bergerak memindahkan rambut bagian depan Kelsie ke belakang telinga.
Kelsie menatap manik mata Dio karena ada perubahan pancaran di sana. Nada bicara Dio terdengar begitu lembut, penuh keseriusan di telinganya. Tapi kenapa ia merasa sedih? Kelsie mengangguk sekenanya. Hatinya merasa aneh.
Dio merasakan kedua matanya memanas hingga berair. "Karena kau sudah mengerti, Kelsie Amanda..."
"---ayo kita berpisah." []
***
KAMU SEDANG MEMBACA
THAT CRAZY CLUMSY MESSY GIRL
Romance"Ohh, lihat, betapa kampungannya wanita ini. Apa dia ini muncul dari jaman batu? Bagaimana mungkin seorang gembel bisa diterima bekerja di perusahaan se-elit ini? Yang benar saja! Coret namanya dari daftar pegawai sekarang juga!" - Gerardio Alexande...