6. Break Up Phase

247 73 38
                                    

Pagi itu aku menemukan ruang kerja dan kamar Philip terkunci, barangkali empunya masih terlelap. Aku mengintip melalui kaca gelap di ruang tamu yang berbatasan dengan ruang penyimpanan mobil Philip dan mendapati mobilnya masih terparkir di sana. Philip berarti masih berada di suatu tempat di rumah.

Dengan langkah waspada, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke dapur, meski tak tahu pasti apa yang dapat kulakukan di sana. Namun, perutku yang terasa pedih serta bayangan buah dan sayuran segar yang menari-nari di pelupuk mata membuatku tertarik mendatangi ruangan itu.

Langkahku terhenti saat mendapati Philip ternyata sedang berada di dapur. Pemuda itu telah serapi biasanya dengan sweater abu-abu, celana berwarna biru gelap dan sebuah apron berwarna putih polos menutupi bagian depan tubuhnya. Dia terlihat sangat cekatan dengan alat-alat memasak di tangannya yang berbalut perban. Perban yang kubalutkan setelah peristiwa tadi malam.

"Hei, kemarilah," sapanya ketika menyadari bahwa aku sedang mengamatinya dari ambang pintu dapur.

Aku mengembuskan napas panjang, sebelum melangkah memasuki dapur dengan ragu. Hari ini Philip terlihat berbeda. Dia sama sekali tak memarahiku karena berkeliaran di luar bilik dan tentu saja aku menyukai hal ini. Aroma masakan menguar, menyambut penghiduku dari sebuah panci alumunium yang terletak di atas sebuah benda persegi panjang dengan lidah api biru.

"Tolong, ambilkan beberapa piring," titahnya tanpa mengalihkan fokus dari pancinya yang mengepul.

Aku mengangguk canggung. Tentu saja, reaksinya benar-benar di luar dugaanku. Bukannya aku tidak senang karena ia tidak memarahiku dan menyuruhku kembali di kamar, hanya saja hari ini Philip terasa benar-benar berbeda. Jantungku tidak siap untuk mengantisipasi hal-hal semacam ini.

Dengan cekatan, aku meraih dua buah piring dari rak dan mengaturnya di atas meja, di dekat Philip.

"Tolong, satu lagi mangkuk berukuran besar." Philip kembali buka suara, menunjuk dengan spatulanya yang berlumuran isi panci pada rak piring. Aku bergegas menurutinya, meraih mangkuk paling besar dan meletakkannya lagi di dekat Philip.

Ia terlihat puas. "Terima kasih," ucapnya.

Pemuda itu mengaduk pancingannya yang mengepulkan uap tipis perlahan. Bau harum yang membangkitkan selera makan menyelinap dalam penciumanku. Apa pun yang ia buat sekarang telah mampu menerbitkan selera makanku. Aku merasakan gemuruh pelan di dalam perutku sehingga sontak membuatku memeganginya.

Di saat bersamaan Philip berbalik menatapku. Detik itu juga aku berharap dia tak mendengarkan suara memalukan yang berasal dari perutku barusan.

"Kau ingin mencobanya?" tanya Philip dengan spatula terangkat. Netra birunya yang seolah bercahaya membuatku tak kuasa menolak. Aku mengangguk sembari menggigit bibir.

Philip mendekatkan spatula itu ke arah mulutku setelah meniupnya sesaat. Sementara, sambil terus menatapnya, aku menyesap kuah putih yang terasa gurih di ujung lidah itu dengan rakus. Masakan yang benar-benar lezat.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Philip setelah menarik spatulanya.

Demi Tuhan, aku menginginkan spatula itu lagi di mulutku! Tentu saja, aku tidak mengatakannya. Aku mengangguk pelan dengan gerakan canggung. Aku tak tahu hidangan apa itu, tetapi rasanya cukup enak. "Enak sekali," sahutku sembari mendecap-decap, merasai kelezatan yang tertinggal di ujung lidah.

Philip tersenyum samar, sebelum ia mematikan nyala api biru dengan memutar salah satu tombol dalam satu gerakan cepat. Ia meraih mangkuk yang telah aku sediakan dan mulai memindahkan isi panci ke dalamnya.

Sementara aku masih berdiri di sisi meja panjang itu, Philip telah berjalan melewatiku dengan membawa mangkuk yang berisi hidangan. Dia meletakkannya di tengah-tengah meja makan, kemudian menyajikannya dalam dua mangkuk yang lebih kecil. Setelahnya, ia menoleh padaku. "Ayo makan!"

The Awakened Beauty (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang