I like your eyes, you look away when you pretend not to care.
——
"Chan! Tungguin, ih!"Pemuda dengan mata kucing itu berlari mengejar yang lebih tua. Ia membawa tumpukan buku yang penuh ditangannya, sambil sedikit membenarkan kacamata bacanya yang melorot. Terlihat berantakan memang, tapi tetap saja terlihat lucu di mata seorang Bang Chan–dalam diamnya.
"Ngapain sih, lo? Jalan aja lambat banget." Chan segera mengambil setumpuk buku yang dibawa oleh pemuda di hadapannya dan segera berjalan seraya membuang muka menghindari pandangan kucing di sampingnya.
"Apasih, Chan? Gue kan tadi disuruh ngumpulin buku, makanya lama. Lo nya aja yang gak sabaran, dih." jawab pemuda itu sembari terkekeh kecil melihat kelakuan Chan yang menurutnya lucu itu.
Lee Minho, nama pemuda itu. Bersahabat dengan Chan selama satu setengah tahun, dan ia telah jatuh hati pada temannya itu sejak pertemuan pertama keduanya. Bersahabat dengan manusia satu itu memang memerlukan kesabaran ekstra. Chan itu hangat, benar-benar hangat, tubuhnya maksudnya. Sikapnya itu sudah seperti kulkas saja. Bedanya, ia bernapas dan bergerak--dan tentunya empuk. Namun, Minho tetap saja betah. "Gak apa-apa, asal bisa dekat sama Chan, gue mau aja kena hawa dinginnya," kata Minho suatu kali ketika ditanyai temannya yang lain. Dia sudah kebal menghadapi aura kutub dari 'kulkas berjalan-nya' itu.
"Chan, nanti temenin gue, ya! Kangen nih, main-main di zonawaktu. Awas lo gak mau! Gue santet!"
Minho langsung memukul-mukul lengan Chan dengan bersemangat. Mencoba menarik perhatian pemuda yang sedari tadi tak mengacuhkannya.
"Iya, serah lo," gumam Chan dengan tetap mempertahankan wajah datarnya.
"Yeaaay! Makasih Chan! Gue duluan yak, paipai~"
Minho berteriak dengan heboh dan berlari riang meninggalkan Chan yang tengah tersenyum kecil lantaran tak kuasa menahan gemas pada kucing kecilnya. Ah, kenapa kucingnya menggemaskan sekali, sih? Chan kan jadi susah menahan lengkungan bibirnya.
——
Bel pulang telah berbunyi sejak 5 menit yang lalu. Namun, guru yang mengajar di kelas Chan tak kunjung meninggalkan kelasnya. Sebelum akhirnya mendapat panggilan telepon yang entah dari siapa itu dan akhirnya pergi dengan santainya.Helaan napasnya menemani Chan membereskan buku-buku di atas mejanya. Ia tak ingin Minhonya menunggu terlalu lama. Jangan katakan hal ini pada Minho, tentu saja Chan akan sangat malu. Kasian wajah es batunya itu kalau harus terhangatkan rona merah.
Chan melangkah tergesa meninggalkan kelasnya. Baru saja melewati pintu kelasnya, ia telah melihat sesosok penampakan makhluk mungil yang tengah berjongkok di depan kelasnya. Iya, Minhonya, siapa lagi memang? Chan terdiam sejenak, memandangi Minho dan tersenyum samar melihat kegumushan Minho yang overload.
"Heh! Ngapain lo disitu? Kaya anak kucing nunggu emaknya aja."
Chan berdiri di depan Minho dan menabrakkan ujung sepatu mereka.
"Eung?" Minho bergumam kecil seraya mendongak menatap Chan. Senyumnya langsung terkembang melihat Chan yang telah ada dihadapannya. Jangan lupakan, Chan terlihat begitu bersinar, Minho sampai kesilauan. Bagaimana ya, sebenarnya posisi Chan membelakangi matahari. Jadi yaa ... begitu.
"Udah mau berangkat?" tanya Chan sambil berjongkok untuk menyamakan tinggi mereka.
"Hah? Iyalah, hehe. Ayo berangkat."
Minho segera bangkit dan menarik pergelangan tangan Chan yang masih juga belum berdiri. Dengan bersemangat dan berlarian kecil. Diikuti dengan senyuman kecil Chan di belakangnya.
——
"Dih, kok lebih banyak punya lo terus, sih. Curang ya lo, Chan?"Minho menggerutu dan memajukan bibirnya sembari tetap melempar bola basketnya ke ring. Masih asik dengan bolanya sendiri lantaran tak ingin kalah. Chan hanya meliriknya sekilas dan melanjutkan lemparan bolanya dengan santai. Tanpa ia berusaha keras pun, bolanya tetap mudah masuk.
"Ah, tau ah. Chan nyebelin. Sini, gelud kita!"
Pemuda mungil itu bersungut-sungut sambil menghentakkan kakinya lucu. Lalu, berpura-pura menonjok yang pada akhirnya membawanya memiting leher Chan. Tentunya setelah menarik bahu Chan supaya ia menunduk. Biar lebih mudah menghajarnya, begitu katanya.
Tak lama, matanya menelusuri sekitar, mencari permainan yang sekiranya akan dimenangkannya. Bibir mungilnya tiba-tiba tersenyum licik.
"Chan, ayo main itu, ayooo~"
"Min, ya kali gue main kek inian. Yang bener aja deh lo." Matanya melirik kesal ke arah mesin mainan yang dimaksud. "Itu mainan bocah, Minho."
"Gak mau tau, Ino mau liat Channie main itu pokoknya." Minho tetap memaksa sambil mencebikkan bibirnya dan tak lupa sedikit menggembungkan pipinya. Minho hanya acting, bung. Minho tau, Chan pasti akan kesal dan mengabulkannya. Setidaknya, kalau dia tak bisa mengalahkan Chan, dia akan mempermalukannya, ehe.
Mesin mainan yang dari tadi diributkan oleh Minho adalah mesin mainan yang memunculkan kepala bebek yang harus dipukul saat muncul alias Whack A Mole. Eh, atau Whack A Duck, karena ini bebek.
Bayangkan, kalau Chan harus memainkannya. Mau ditaruh dimana wajah tampan dan tubuh berototnya? Di atas kepala bebek? Tenggelamkan saja Chan!
——
"Ayo, Chan! Pukul terus! Jangan kasih kendor! Semangat Chan! Yeay! Dapet banyak banget kan, awokwokwok."Iya, pada akhirnya Chan tetap tak kuasa menolak keinginan kucing kecilnya.
Hai!
Selamat melewati bagian pertama.- Lif
KAMU SEDANG MEMBACA
Now You Know | Banginho
FanfictionNever knew a love like this, now I can't let go. I'm in love with you and now you know. - Lee Minho semi-baku bxb | fluffy romance | short story Bang Chan x Lee Know