[1] Gundul Pecengis

44 9 0
                                    

"Eh, ada kelapa tuh, Lis! Ayo ambil, lumayan besok bisa buat masak mamak, beliau pasti senang kita pulang dari main dapat kelapa." ujarku pada Lilis teman sepermainan, saat kulihat ada kelapa tergeletak di pinggir jalan.

Kami baru pulang dari bermain Gobak Sodor bersama teman-teman, jam tangan telah menunjukkan pukul sembilan malam. Sehingga aku dan Lilis mau tidak mau harus pulang, padahal kami masih ingin bermain.

Walau hari belum larut harus segera sampai rumah, jika tidak ingin terkena hukuman tidak boleh bermain saat bulan purnama. Karena memang itulah hiburan kami anak-anak kampung yang belum tersentuh teknologi moderen, bermain di luar rumah bersama teman-teman sudah membuat kami bahagia. Permainannya pun tidak membutuhkan banyak peralatan, lebih sering menggunakan fisik.

Rumahku dan Lilis bersebelahan jadi kami selalu pulang bersama setelah selesai bermain.

"Tapi cuma ada satu Yan, buat aku aja ya?"

"Iya ambil buat kamu aja, pasti mamakmu akan senang." Aku mengalah, tidak mengapa biasanya memang ada banyak kelapa yang jatuh.

Karena posisinya di pinggir jalan, siapapun yang menemukan boleh mengambil. Tidak akan ada yang marah, karena tanah di pinggir jalan adalah tanah milik bersama.

Saat malam terang bulan, biasanya aku dan teman-teman berkumpul untuk bermain Gobak Sodor di halaman rumah salah satu teman yang luas.

Selepas shalat Isya kami menuju halaman rumah teman tersebut, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Kami sudah otomatis berkumpul di sana, suasana sungguh meriah oleh teriakan kami yang sedang bermain.

Rumahnya memang agak jauh beberapa rumah dari rumahku, kami orang kampung sudah terbiasa keluar rumah untuk sekedar bermain atau belajar bersama saat hari cerah kala bulan purnama. Para orang tua juga ikut berkumpul dengan sesama mereka untuk ngerumpi atau hanya bercanda saja. Kala itu tidak ada televisi dan listrik pun belum masuk kampung kami di pedalaman Sumatera.

Lilis mengambil kelapa tersebut dengan gembira, tapi dia berkata mengapa kelapanya semakin lama semakin berat. Padahal tadi ketika diambil tidak berat betul, ketika kami melewati pohon kelapa berikutnya. Kami mendengar ada suara aneh yang berasal dari kelapa yang dibawa Lilis.

"Yan, kelapanya kok semakin aneh sih, coba lihat kok warnanya hitam? Padahal tadi nggak begini."

Lilis kaget mendapati kelapa yang telah berubah warna menjadi hitam.

Jantung kami mulai berdebar tak karuan, perasaan kami menjadi tidak enak. Lalu aku berkata, "Lis coba kamu lihat lagi kelapanya, kenapa kok jadi begitu?"

Di bawah cahaya terang bulan kami melihat, seraut muka yang sedang meringis, memamerkan deretan gigi yang runcing. Reflek Lilis melempar kelapa ke sembarang arah, aku dan dia lari tunggang langgang pulang ke rumah masing-masing.

Sial, apa itu tadi. Mamak heran dengan gelagatku yang tidak seperti biasanya. Masuk rumah  dengan tergesa-gesa tanpa mengucapkan salam.

"Ee ... ini anak masuk rumah langsung nyelonong aja, kenapa enggak mengucapkan salam?" tanya mamak.

"Assalamualaikum. A ... anu Mak, itu tadi ada kelapa tapi kenapa pas kami ambil mau dibawa pulang berubah jadi kepala yang meringis?" ujarku tergagap.

Waalaikumussalam warrahmatulahi wabarakathu. Mamak menjawab salamku.

Mamak mengambilkan minum di gelas, lalu menyuruhku untuk minum. "Minum dulu dengan pelan, baca basmallah. Lalu ceritakan dengan tenang, mamak mau mendengarkan ceritamu dengan lengkap."

Setelah minum lalu mengalirlah cerita yang telah aku dan lilis alami, dari mulai kami menemukan kelapa sampai kami laritunggang langgang karena terkejut dan takut.

"O ... itu namanya Gundul Pecengis, kata orang tua jaman dulu. Dia awalnya memang menyaru sebuah kelapa, ketika hendak dibawa pulang akan berubah menjadi sebuah kepala yang meringis. Makanya, lain kali tangannya dijaga, tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan milik kita. Mau itu di rumah sendiri atau di pinggir jalan sekali pun, karena itu bukan hak kita."

"Serem ya Mak ternyata, besok-besok lagi aku nggak mau begitu ah. Tapi Mak, pikir kami kan lumayan bisa dibuat santan untuk masak besok." Aku masih berusaha membela diri.

"Mamak juga enggak akan mau menerimanya jika misal itu memang kelapa sesungguhnya, ya karena itu tadi. Bukan hak kita, nanti akan menjadi mudharat."

"Iya Mak, Yanti paham. Tidak akan mengulangi lagi, kapok. Seram juga, hi ...." Aku bergidik ngeri. Berjanji pada diri sendiri tidak akan mengulangi hal yang sama, mengambil sesuatu yang bukan milik sendiri.

Keesokan harinya, warga heboh dengan penemuan kami berdua. Ternyata kejadian yang kami alami bukanlah yang pertama, dulu ada beberapa warga yang pernah bertemu dengan Gundul Pecengis yang awalnya kelapa tetapi ketika diambil berubah, menjadi sebuah kepala yang meringis memamerkan giginya yang runcing.

Untungnya tidak pernah memakan korban, dia hanya menakuti saja. Kan ngeri kalau sampai dia terbang, lalu menggit orang yang menemukannya.

Konon katanya dari cerita para orang tua, Gundul Pecengis itu berasal dari kepala warga kampung yang dipenggal oleh tentara Jepang. Saat mereka menjajah dulu, kepala itu akan ditemukan ketika malam hari saja, ketika bulan purnama.

Sejak saat itu aku dan Lilis tidak berani bermain malam hari lagi, kecuali jika teman-teman datang ke rumah beramai-ramai untuk menjemput kami. Itu pun pulangnya juga mereka akan mengantar, kami tidak ada yang berani memungut apapun di pinggir jalan jika menemukan sesuatu.

Lagian benar kata mamak, tidak boleh mengambil apapun yang bukan milik kita. Pengalaman malam itu buatku dan Lilis menjadi pelajaran berharga, jika malam hari kami lebih sering di rumah.

Teman-teman pun tidak ada yang berani bermain jika tidak bersama-sama, kecuali yang rumah mereka berdekatan mereka bermain di sekitar rumah saja. Malam bulan purnama di kampung kami tidak semeriah dulu lagi, banyak yang enggan keluar.

Ketika listrik memasuki perkampungan kami, jalanan menjadi terang benderang. Tidak ada warga yang takut keluar rumah lagi, walau begitu tetap saja kami jarang bermain di luar rumah lagi.

Sebagai gantinya, rumah seorang warga yang mempunyai televisi selalu ramai dipenuhi oleh warga yang menumpang untuk nonton televisi. Karena memang saat itu televisi sesuatu yang masih jarang dan langka, hanya orang kaya yang memilikinya.

Sementara aku dan Lilis lebih memilih bermain bersama secara bergantian, kadang di rumahku. Kadang juga di rumahnya. Kami tidak tertarik ikut berdesakan menonton televisi di salah satu rumah warga yang kaya tersebut.

Rumah yang ada televisinya melewati jalan tempat kami menemukan kelapa Gundul Pecengis itu, kami sudah kapok untuk melewatinya malam hari hanya berdua. Teman-teman sudah tidak ada yang mau menjemput kami ramai-ramai lagi, mereka  berlomba-lomba untuk  sampai duluan.

Yang datang duluan akan duduk di depan televisi, tanpa terganggu oleh kepala orang yang menonton di depan. Anak-anak dan orang dewasa bercampur di rumah salah satu warga tersebut.

***
TAMAT

Penulis serein_25

Gmn? Keren gak tuh cerpen bikinan kak Nadia?^∆^
UwU jujur sih aku sebagai admin cerpen emang suka cerita yang berbau hororT^T
Gak nyangka cerpen pertama yang terdata di aku cerpen berbau horor♪

Jika suka jangan lupa voment and follow penulisnya kalau perlu, ehe^^

Salam admin cerpen
Nimas_k24

Nouvelle [Kumpulan Cerpen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang