[5] Secarik Kertas Yang Dilipat

21 6 0
                                    

"Tampan ya, Ra," ucap seseorang yang membuatnya tersentak kaget. Haura menoleh ke samping, mengulas senyum malu.

"Mbak Zara mengagetkan saja, sih," balasnya dengan pipi memerah.

Mengibaskan tangannya di udara, Zara menyahut remeh, "Bilang saja kalau aku mengganggu kenikmatanmu."

"Tidak, Mbak. Astagfirullah. Justru aku merasa berterima kasih karena barusan Mbak mengagetkanku. Kalau aku terus-terusan memandangnya, nanti dosa."

Adnan Zavair Firdaus atau lebih akrab disapa Gus Adnan, putra bungsu Mbah Kyai pondok pesantren Darussalam itu memang mempunyai paras menawan yang membuatnya sedap dipandang. Apalagi jika situasinya seperti saat ini. Gus Adnan tengah mengisi kajian sore untuk para santri junior di aula terbuka. Suara merdunya yang tengah melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an membuat hati yang mendengarnya merasa tenang.

"Ra, makanya kamu harus banyak-banyak berdoa supaya Allah menjodohkanmu dengannya," ujar Zara diakhiri tawa ringan.

"Iya, Mbak. Di sepertiga malam aku selalu berdoa, kok." 
Zara lantas berdecak kagum.

"Wah, padahal niatku hanya bercanda, Ra. Tapi kamu menganggapnya serius, bahkan sudah melakukannya, ya?"

"Tentu saja, Mbak. Mbak Zara sendiri yang bilang padaku dulu, kita harus rajin berdoa untuk mendapat sesuatu."

"Tapi berdoa tanpa usaha itu bohong namanya. Usaha juga harus, Ra," tutur Zara yang membuat Haura berpikir beberapa saat.

Benar juga kata seniornya. Pepatah mengatakan, usaha tanpa doa adalah sombong, dan doa tanpa usaha adalah bohong.

"Hm, jadi aku harus melakukan usaha semacam apa?" tanya Haura kembali memfokuskan diri pada Zara.

"Coba kamu tulis surat cinta untuknya."

Haura langsung memelotot kaget. Hih, gila saja kalau ia sampai menulis surat cinta untuk Gus Adnan. Bisa mati harga dirinya.

Haura langsung menggelengkan kepalanya berkali-kali, tanda menolak saran yang Zara berikan.

"Kenapa?"

"Tidak seperti itu juga, Mbak."
Zara hanya mengulas senyum manis. "Barangkali saja sukses. Sudah berapa lama kamu memendam cinta untuknya?"

Haura terdiam. Jika diingat-ingat, sudah hampir empat tahun lamanya ia memendam cinta untuk Gus Adnan.

Jika Haura ditanya sejak kapan tepatnya ia jatuh hati pada Gusnya itu, ia tentu tidak tahu. Yang jelas, melihat kehadiran beliau saja sudah membuat hatinya dipenuhi gedebur-gedebur ombak cinta.

"Ra?"

"Eh? Iya, Mbak?"

Zara kembali mengulas senyum manis. "Kalau kamu masih mau menikmati keindahan ciptaan Allah, silakan, Ra. Aku mau ke koprasi dulu," pamitnya lantas berlalu meninggalkan Haura yang kembali memandangi ciptaan Allah yang nyaris sempurna itu.

***

Setiap tanggal 27, pengurus santri Darussalam selalu mengadakan rapat bulanan untuk membahas berbagai macam hal. Dimulai perkembangan rata-rata santri, sistem kajian, dan pengembangan diri yang diadakan di pondok pesantren. Semua hal dibahas secara mendetail yang dipimpin oleh ketua pengurus, Gus Adnan.

Nouvelle [Kumpulan Cerpen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang