Aku menghela nafas panjang sembari menatap rintik-rintik hujan yang turun membasahi bumi. Kenapa hujannya harus turun saat aku sedang di luar rumah, sih? Apa hujannya tidak bisa dipending dulu, kah?
Sekarang ini aku sedang berada di pelataran toko buku yang berjarak cukup jauh dari rumahku. Aku biasa pulang menggunakan angkutan umum. Tetapi haltenya terletak sekitar satu kilometer dari tempatku sekarang berdiri.
Menerobos hujan? Tidak, tidak. Aku masih mengenakan seragam sekolah putih biru yang besok masih harus kupakai lagi. Aku tidak membawa payung karena tadi cuacanya cerah, tidak ada tanda-tanda akan turunnya hujan. Malah aneh bukan jika aku membawa payung?
Dan lagi, aku tidak membawa kendaraan seperti kebanyakan orang. Aku hanyalah seorang anak dari petani yang dalam segi ekonomi bisa dibilang menengah ke bawah. Kami hanya memiliki satu kendaraan bermotor dan itu juga digunakan oleh Ayah.
Biasanya sih tidak ada masalah apa-apa dengan hal itu. Aku berangkat dan pulang sekolah menaiki angkutan umum. Tetapi hari ini aku mampir terlebih dahulu di toko buku untuk membeli salah satu buku pegangan untuk menghadapi lomba olimpiade.
Salahkan aku yang keasyikan memilih buku sehingga tadi tidak melihat langit yang sudah memberi pertanda akan turunnya hujan. Aku tadi benar-benar memilah buku yang paling top untuk membantuku dalam menghadapi Olimpiade Sains Nasional. Bagi kalian yang belum tahu, aku ini kelas XI SMA. Dan aku dipilih untuk mengikuti lomba bergengsi tersebut.
Aku memeluk buku yang baru saja kubeli dengan uang hasil jeri payahku dengan erat berharap dapat mengurangi rasa dingin yang menjalar di sekujur tubuhku. Hujan sialan! Jika saja aku mati hipotermia karenamu, akanku kutuk kau menjadi katak!
Sudahlah, tidak ada gunanya menyalahkan hujan. Aku memutar kepala untuk melihat ke sekeliling. Dapat kusimpulkan jika aku sendirian menunggu hujan reda di sini. Jelaslah! Siapa yang mau keluar saat hujan deras begini?
Eh, tapi sepertinya tidak. Tiba-tiba saja datang seorang laki-laki dari dalam toko buku yang berpakaian sama denganku; seragam sekolah putih biru. Aku mengintip bed yang terjahit di lengan kanannya. SMA 1 Bintang. Kita satu sekolahan.
Aku juga merasa sedikit familier dengan laki-laki tersebut. Mungkin aku pernah melihatnya, tapi tidak mengenalnya. Badannya yang tinggi tegap dengan kulit putih pucat, lumayan tampan. Saat sedang asyik mengagumi ketampanan laki-laki tersebut, orang yang menjadi objek penglihatanku menatapku balik.
Seketika diriku dirundung grogi. Aku langsung menolehkan kepalaku ke arah lain untuk memutus kontak mata tersebut, sekaligus menyembunyikan wajahku yang sudah memerah karena malu. Jadi seperti ini ya rasanya terciduk saat sedang mengagumi ciptaan tuhan yang dinamakan laki-laki.
Dan kalian mau tahu apa yang lebih kampretnya lagi? Laki-laki itu malah berjalan ke arahku lalu berdiri tepat di sebelahku sembari menatap jalanan yang sedang diguyur oleh air hujan.
"Hujannya lebat ya." Aku mencoba untuk berbasa-basi untuk mengurangi kecanggungan ini.
"Iya. Padahal tadi cuacanya cukup cerah." Aku tidak menduga jika laki-laki itu akan membalas ucapanku.
Kukira dia adalah lelaki sedingin kulkas yang paling tidak bisa diajak yang namanya basa-basi. "Kamu tidak pulang?" tanya laki-laki itu.
"Kan masih hujan," balasku. Laki-laki itu menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Oh, jadi ceritanya dia salting?
"Maksudku apa kamu tidak membawa payung atau sebagainya?" jelas laki-laki itu.
Aku mengangguk. "Tidak. Aku juga tidak mengira jika akan turun hujan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nouvelle [Kumpulan Cerpen]
Short Story"Hidup ini hanya sebuah catatan kecil. Cerita pendek tentang sebuah realita yang didalamnya hanya ada cerita kepahitan dan manisnya kehidupan."-WM 2020 *** Kumpulan cerpen buatan Writing Memories, terdapat tag akun penulis di setiap part. Diharap ha...