[10] In My Dream

12 2 0
                                    

Lembur lagi.

Sial.

Aku menghela nafas pasrah sembari menatap nanar punggung manager cafe tempatku bekerja yang mulai menjauh. Hanya memecahkan sebuah cangkir teh saja hukumannya harus melembur hingga cafe tutup.

Ng ... aku tahu jika itu termasuk hukuman ringan. Tetapi tetap saja melelahkan!

"Sudahlah Lis, jalani saja. Tidak ada gunanya mengumpati Donald Duck dalam hati," ujar salah satu pegawai cafe yang berdiri di sebelahku. Miya namanya.

Donald Duck ya? Memang iya.

Kami pegawai Cafe memang memberi julukan Donald Duck untuk manager tersayang kami. Saking sayangnya kami sampai ingin untuk mengantarkan Tuan Donald Duck ke sisi-Nya dengan suka rela.

Merasa perkataan Miya tadi benar, aku memilih untuk melanjutkan mengelap piring-piring yang baru saja aku cuci. Jika saja aku tidak butuh uang untuk kehidupan sehari-hariku, sudah dapat dipastikan jika aku memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaan ini.

Tapi sayang, aku membutuhkan uang untuk makan dan biaya sekolah. Jadi ya sudah terima saja. Zaman sekarang ini mencari pekerjaan tidaklah mudah. Apalagi yang mau menerima bocah yang masih kelas X sepertiku. 

Hari ini, waktu berjalan sangat lama.  Setiap beberapa menit sekali aku selalu menoleh ke arah jam yang menggantung di dinding berharap jarum pendeknya sudah berada di angka sepuluh.

Untungnya saat aku menoleh yang ke tiga ratus enam puluh tujuh, jarum pendek sudah berada di angka sepuluh dengan jarum panjang yang terdapat di angka dua belas.

Akhirnya, jam tutup cafe tiba juga. Aku dengan senyum yang mengembang melepas apron hitam yang kukenakan lalu menyambar tas sekolahku yang tergeletak di atas meja. Seharusnya pukul lima sore tadi aku sudah boleh pulang, tapi ya ... gitu deh.

Aku menyapa beberapa pegawai cafe yang masih bersiap-siap untuk pulang. "Aku pulang duluan ya Mbak. Selamat malam ...."

Aku berjalan pulang menuju rumahku yang kutinggali seorang diri sembari memandangi langit yang kehilangan cahaya bulannya karena tertutup awan. Jalanan sudah sepi karena ini memang sudah larut malam.

Saat aku sudah sampai di rumah, aku langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, aku membaringkan diriku di atas kasur. Aku memejamkan mata membiarkan kegelapan menyelimuti penglihatanku.

***

"Engghhh ...."

Aku membuka kedua mataku yang terasa berat. Setelah terbuka dengan sempurna, aku menatap ling-lung tempat di mana aku berbaring.

Aku berada di tengah hutan yang gelap!

Pohon-pohon besar menjulang tinggi menutupi langit, tanah yang diselimuti oleh dedaunan kering, dan juga suasana menyeramkan yang sangat terasa di sini. Aku memegangi bagian belakang kepalaku yang sedikit nyeri.

Seingatku, tadi aku sudah tertidur di dalam kamar setelah selesai membersihkan diri.

Karena penasaran, aku bangkit dari tiduranku. Walaupun di sini sangat gelap, tetapi terdapat cahaya bulan yang menyusup dari balik celah-celah pohon. Itu cukup untukku melihat dengan jarak sekitar lima meter.

Aku mulai melangkahkan kakiku ke arah kanan dengan perlahan. Entahlah, instingku mengatakan jika aku akan menemukan jalan untuk pulang di sana.

Selama aku berjalan, banyak spekulasi tentang Bagaimana caraku bisa sampai di sini di otakku. Mulai dari diculik, tidur sambil berjalan —ini jelas tidak mungkin— sampai dibawa oleh hantu tampan yang ingin menjadikanku sebagai istrinya.

Ugh, sepertinya aku terlalu banyak membaca novel fantasi tentang kisah cinta manusia dengan hantu tampan. Padahal sudah jelas, mana ada hantu tampan?

KRETAK

Aku langsung membalikkan badan dengan siaga saat mendengar suara ranting yang baru saja diinjak dari belakangku. Mataku membulat dengan bibir yang terbuka melihat seseora- ralat, dia bukan orang!

Makhluk yang mirip seperti manusia itu memandangiku dengan senyum miring yang menyeramkan. Sayap kelelawar berwarna hitam yang ada di punggung makhluk itu terlipat ke belakang membuatnya menjadi tidak terlihat jika dilihat dari depan.

Bekas sayatan panjang dari ujung mata sampai leher masih mengeluarkan darah membuatku yakin jika luka itu baru makhluk itu dapatkan belum lama ini.

Dan aku dapat  menyimpulkan apa nama makhluk di hadapanku ini sesaat setelah aku melihat taring yang mencuat dari balik bibirnya.

Makhluk itu adalah Vampir seperti yang ada di film-film!

Tapi ... tapi Vampir itu tidak setampan Edward Cullen di film Twilight. Malah wajah makhluk itu sangat buruk dan menyeramkan. Coba saja jika wajah Vampir itu setampan Edward Cullen, dengan senang hati aku akan menjadi Bellanya.

"Tidak kusangka kau sudah berjalan sampai sejauh ini."

Badanku langsung bergetar ketakutan saat mendengar suara Vampir itu. Suara itu sangat besar dan penuh akan kebencian. Padahal jika ditinjau lagi, aku belum melakukan apa-apa yang dapat membuat Vampir itu marah.

"D-di mana a-aku?" Tanyaku dengan badan yang masih bergetar ketakutan.

Vampir buruk rupa itu menaikkan salah satu alisnya lalu tertawa dengan sangat kencang membuat beberapa burung yang bertengger manis di atas pohon terbang ketakutan.

Setelah tawa Vampir itu mereda, ia menatap tepat ke arahku dengan raut wajah seakan tengah mengejekku.

Nouvelle [Kumpulan Cerpen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang