3. Kecelakaan Kecil

355 23 0
                                    

Selalu siapkan dirimu untuk menanti hal-hal yang tidak terduga

Pagi ini, Rayn tidak lagi datang terlambat ke sekolah. Semalam setelah pulang dari arena balap, ia langsung tidur. Pekerjaan rumah sudah selesai, membantu sang ibu juga sudah. Ia bisa seniat ini sebab nanti malam akan ikut balapan.

"Rayna, bisa fokus ke depan, nggak?"
Rayn terkesiap. Ia menatap Bu Irna yang sudah bersiap melayangkan penghapus papan padanya.

"Maaf, Bu ...,"lirihnya dengan tatapan sendu. Hanya ini satu-satunya cara supaya Bu Irna berhenti mengomel.

"Kamu tu yah!" Bu Irna menggelengkan kepala. "Kamu pasti nggak dengerin penjelasan saya, 'kan?"

Tau dari mana, Bu? "Enggak kok, Bu. Saya denger penjelasan Ibu."

"Bohong, kamu!"tuding Bu Irna. "Dari tadi saya liat kamu bengong terus!"

Tak mampu beri alasan membela diri, Rayn hanya bisa nyengir.

"Sekarang kamu pilih yang mana, kerjain soal yang ada di papan tulis, atau keliling lapangan upacara dua puluh kali?"

Pertanyaan Bu Irna sangat mudah. "Keliling lapangan, Bu."

"Enak aja kamu! Cepat kerjain soal di sini. Dari tadi saya capek-capek jelasin sampe mulut keluar busa, tapi kamu malah bengong di situ!"

Sekarang Rayn jadi kesal. Pertama, Bu Irna sendiri yang memberi kebebasan memilih. Namun setelah dipilih, malah Rayn dilarang. Kedua, bahkan manusia dengan sepuluh indra sekalipun tidak bisa melihat adanya busa di mulut Bu Irna.

"Rayna!"

Rayn menatap tiga soal di papan tulis. Otaknya membuat perhitungan sederhana, sebelum akhirnya maju dan mengambil spidol.

Tangannya begitu ringan menulis jawaban. Meskipun terkenal nakal, Rayn punya otak cerdas yang diturunkan dari ayah. Apalagi materi di depan mengenai statistik, sebuah perhitungan yang dulu sering ia dan Ryano lakukan untuk membantu tugas ayah. Beberapa menit kemudian, ia selesai.

"Selesai, Bu!"

"Bagus. Silakan duduk." Sebagai salah satu guru penanggung jawab mahasiswa berprestasi dan penerimaan beasiswa, Bu Irna tidak lagi kaget akan kemampuan Rayn. Ia sendiri yang memberi tes ketika Rayn pindah sekolah dan mengajukan permohonan beasiswa. Waktu itu ada dua belas orang yang mengikuti tes, dan yang lulus adalah Rayn dan siswa kelas sepuluh. Bu Irna masih ingat, waktu itu ia meminta nilai rapot dan peringkat Rayn. Berbanding terbalik dengan kemampuan otaknya, ia bahkan tak masuk dalam daftar sepuluh besar. Sekarang Bu Irna mengerti kenapa siswi sepandai Rayn tidak dapat meraihnya, sebab kelakuannya di sekolah memang seperti orang tidak beradab.

Saat jam istirahat tiba, Rayn langsung menuju ke ruangan kepala sekolah. Di tangannya, ada sebuah paper bag plastik berisi seragam Dika.

"Jangan bilang dia lupa!"

Dika belum datang, atau mungkin sudah lupa akan perjanjian mereka.

"Eh berandal!"

Rayn berbalik ketika seseorang memanggilnya. Dari jarak 10 meter, Dika menghampiri.

"Ini seragam lo." Perempuan itu menyerahkan paper bag.

"Perasaan gue nggak minta plastik seribuan begini, deh!" Dika menatap Rayn jengkel. "Gimana kalo seragam gue bau plastik, heh?"

Sambil memutar bola mata, Rayn berkata, "Alay lo jadi cowok. Nggak penting bentukan plastiknya, yang penting seragam lo bersih."

Dika mengeluarkan seragam, lalu mengendus aromanya.  "Lo pake pewangi apaan, nih?"

Rayn (On going ....)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang