8. Bad or Good Girl?

331 24 0
                                    

Berkelahi adalah tindakan yang salah. Seperti yang Rayn alami. Semalam mungkin semua baik-baik saja, bahkan reaksi obat pada lukanya pun tidak terlalu perih. Namun ketika bangun pagi, ia hampir tak bisa terkena air, karena wajahnya sangat perih. Akibat lain yang ditimbulkan adalah ia dimarah habis-habisan oleh ibu. Namun karena kasus perkelahian ini bukan yang pertama kali, ibu hanya mengomel seperti biasa, lalu menyuruh Rayn mengurus luka dengan baik.

Mukanya agak bengkak, dan bekas luka yang kemarin berdarah masih kentara.

"Bu, aku ke sekolah dulu!"teriaknya pada ibu yang sedang masak.

"Awas lo berantem lagi di sekolah. Mending ibu yang pukulin kamu sekalian!"

Sambil terkekeh, Rayn membalas, "Mantap, Bu!"

Saat ini sudah jam 6 lewat. Rayn memilih jalan kaki untuk menghemat ongkos.

Ketika pintu depan dibuka, ia sangat terkejut melihat Glen muncul. "Bikin kaget aja lo!"

Tanpa mengatakan apapun, Glen menyentuh luka perempuan itu.

"Akhh!"

"Sakit?"

"Enggak-akhh! Jangan kuat-kuat!"

"Katanya nggak sakit?"

"Nggak sakit kalo lo megangnya pelan-pelan!"

Glen mendengus. "Ini obat buat luka lo."

Rayn menerima bungkusan obat itu. "Makasih, Glen, tapi gue juga punya obat, kok."

"Buat jaga-jaga aja kalo abis."

"Iya." Rayn tersenyum haru.

"Maaf ...,"lirih Glen. "Semalam kalo gue nggak nggak pergi, pasti lo nggak bakal kayak gini."

Sebenarnya Rayn sempat marah karena semalam Glen lebih memilih bersama Cikita. Namun sekarang ia tak bisa marah lagi. Sikap Glen yang sangat perhatian dan lembut membuatnya luluh. "Gue nggak papa, Glen."

"Nggak papa gimana? Muka lo sampe kayak gini, Ya Tuhan, Rayn!"

"Mungkin efek semalam aja. Selebihnya gue nggak papa."

"Gue khawatir banget waktu Deris cerita."

"Dan gue nggak papa."

"Tadinya gue emang di sekolah. Waktu denger kabar lo dari Deris, gue kesini,"ucap Glen masih dengan tatapan lekat pada Rayn.

"Deris ember banget mulutnya,"rutuk Rayn ketika mengingat pengakuannya semalam akan Glen. Jangan sampai laki-laki bermulut ember itu memberitahu. Mau ditaruh di mana muka Rayn nanti?

"Ayo gue anter ke sekolah."

"Nggak usah, Glen. Gue masih punya banyak waktu nungguin mikro."

"Ada tumpangan gratis lo maunya yang berbayar. Cepetan, deh!"

"Jangan, Glen, nggak enak nanti orang mikirnya udah aneh-aneh."

"Orang itu maksudnya Cikita?"

Diam, Rayn tanpa sadar menelan susah payah ludahnya sendiri.

"Tenang aja. Cikita ngerti kalo lo itu temen baik gue."

Rayn tak punya pilihan lain. Setelah mereka pamit pada ibu Rayn, Glen langsung tancap gas. Sebenarnya arah sekolah mereka saling berlawanan. Mereka sama-sama masuk ke SMA swasta, hanya saja Glen memilih sekolah yang lebih dekat dengan rumah. Sementara Rayn memilih sekolah yang ia idamkan sejak dulu, meskipun jaraknya tak sedekat sekolah Glen.

"Gue cabut dulu. Kalo ada apa-apa langsung kabarin. Jangan bikin gue khawatir, oke?"

"Iya, iya,"jawab Rayn sambil menyunggingkan senyum. Ia melambaikan tangan sampai punggung tegap itu menjauh hingga akhirnya menghilang. Baru saja ia memasuki gerbang, Adam sudah menghadangnya.

Rayn (On going ....)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang