13. Yang Kuat Itu Kamu

249 22 0
                                    

Dika mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Kalau ada kendaraan menghalangi, ia tak segan-segan menyalip. Kebetulan jarak dari sekolah ke rumah Rayn cukup jauh, jadi ia harus cepat.

Kepalanya penuh akan Rayn. Penyesalan hinggap di hati tatkala menyadari bahwa ia sudah sangat kejam membiarkan perempuan itu tenggelam dalam kesedihan selama tiga hari. Entah bagaimana ia dapat bertahan, Dika harap Rayn tidak merencanakan hal yang aneh.

Ia mengurangi kecepatan di saat rumah Rayn sudah dekat, dan akhirnya berhenti.

Ia turun, melepas helm, dan berjalan ke arah pintu depan. Diketuknya pintu beberapa kali. Tak ada jawaban dari dalam. Masih tak menyerah, ia kembali mengetuk pintu. Ia tahu Rayn ada di dalam, terbukti dari jendela samping rumah yang terbuka. Lagi diketuknya pintu, sampai bunyi kunci dari dalam terdengar.

Ceklek!

Dika tertegun. Pemandangan wajah Rayn yang muncul dari balik pintu sungguh menyayat hati. Mata gadis itu menghitam, wajahnya pucat, bibir kering, dan sisa air mata menempel di pipi, serta matanya yang bengkak setelah menangis.

Rayn juga sama, tertegun akan kedatangan Dika. "Dika ...."

Bahkan perempuan itu belum sempat menyelesaikan ucapannya, sebab Dika telah lebih dulu membawa Rayn dalam pelukannya. Untuk sesaat perempuan itu menegang, terkejut akan pelukan Dika yang tiba-tiba. Namun berkat usapan lembut di punggung, dekapan hangat nan erat, serta kepalanya yang tersembunyi di dada Dika, Rayn akhirnya pasrah dalam kenyamanan, dalam tangis yang kembali mengalir hanya karena hangatnya pelukan Dika yang seakan paham dan tengah memberikan kekuatan. Perempuan itu menangis dalam diam, malu Dika mendengar dan tahu bahwa ia menangis. Percayalah, Rayn selalu berusaha agar tidak menangis di depan semua orang, bahkan pada teman-temannya, ia tak menunjukkan kesedihan sama sekali. Begitu pun pada Dika, ia tak ingin menangis dan nantinya diejek, tetapi rencana itu gagal hanya karena ia dipeluk begitu erat. Jemari kasarnya mencengkeram seragam Dika.

Dan Dika merasakan itu. Ia tahu perempuan dalam pelukannya menunjukkan gelagat yang berbeda dengan tadi. Bagaimana kepala Rayn semakin menunduk, bagaimana ia mencengkram seragam sekolah Dika, serta ... bagaimana perempuan itu mati-matian menahan tangis, tetapi satu isakan berhasil keluar dari mulutnya yang sedari tadi tidak ingin menangis.

Mata Dika panas mendengar isak perempuan itu. Maka ia semakin mengeratkan pelukannya, merasakan panas tubuh Rayn yang tidak wajar, dan menempelkan dagunya di puncak kepala Rayn yang menguarkan aroma shampo bayi.
"Maaf gue baru datang. Maaf udah biarin lo sendiri selama tiga hari ini ...,"bisiknya dengan mata terpejam.

....

Setelah berdebat dengan Rayn selama hampir tiga jam, akhirnya di sinilah mereka berada, rumah Dika. Lelaki itu sadar bahwa Rayn demam tinggi, terbukti dari panas tubuhnya yang cukup membuat Dika meringis ketika mereka berpelukan. Panas tubuh Rayn menjalar di kulitnya yang dingin.

Setelah itu ia mengajak Rayn ke rumah, tetapi tentu saja Rayn menolak dengan alasan ia hanya demam biasa, ia bisa meminum obat.

"Obat gue ada, Dik!" bantah Rayn ketika Dika bersikeras membawanya ke rumah.

"Mana?"

"Pokoknya ada!"

"Kalo ada cepet tunjukin biar gue lihat!"

Rayn diam, dan itu adalah reaksi yang Dika tahu betul bahwa perempuan itu berbohong. "Nggak usah keras kepala, dan ikut gue ke rumah."

Rayn hendak protes, dan Dika kembali berucap, "Nggak ada bantahan!"

Ternyata benar dugaan Dika. Ketika sampai ke rumah, Sri—ibu Dika—yang ternyata adalah seorang dokter, langsung memeriksa keadaan Rayn, dan memberitahu bahwa perempuan itu demam tinggi selama tiga hari. Bahkan suhu tubuhnya naik empat derajat dari suhu normal manusia. Sri langsung menyuruh Dika membantu Rayn makan dan minum obat.

Rayn (On going ....)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang