Chapter 1

47 14 0
                                    

Follow, vote, coment, share this story

Saya senang kalian senang :)

Happy reading ....

Tia baru saja turun dari angkot

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tia baru saja turun dari angkot. Sebelum membayar, matanya melirik pada sebuah gedung yang bertuliskan Rumah Sakit Pakusadewo. Benar, ini adalah tujuannya.

Setelah memastikan tujuannya benar, ia buru-buru memberikan uang pada sopir angkot yang berjambang tipis. Tanpa diduga, laki-laki itu mengambil uangnya seraya mengelus lembut tangan Tia, tak lupa sebuah kedipan meluncur dari matanya.

Kretek

Terdengar suara sendi yang berpindah. Tia berhasil memelintir ibu jari sopir itu. Pria itu meringis kesakitan. Tia tak mempedulikannnya lagi meskipun terdengar sopir itu melontarkan sumpah serapahnya, ia langsung melengos dan bergegas pergi.

Wanita berambut pendek itu berjalan cepat menuju gerbang rumah sakit. Ia segera mengeluarkan gawai miliknya dan menelepon seseorang.

"Hallo, Tante. Di mana? Tia udah di depan."

Samar-samar terdengar suara seorang wanita di ujung telepon. Riuhnya suara kendaraan yang berlalu-lalang membuat Tia harus mengulangi pertanyaannya pada wanita di ujung telepon itu.

"Oh, ya udah, Tia tanya dulu."

Napas Tia memburu, kakinya melangkah cepat. Dadanya berdegup kencang, ia khawatir dengan kondisi Sang Ayah. Sudah dua tahun ia meninggalkan ayahnya sendirian di rumah demi mencari pekerjaan yang layak di kota lain.

"Awww ...." Tia meringis saat kakinya tersandung bagian lantai yang lebih tinggi.

Yang ada di pikirannya hanyalah Ayah.

Ia merasa sudah menjadi durhaka pada Sang Ayah. Tapi, kalau tidak begitu siapa lagi yang akan mencari uang?

Ia hanya anak tunggal, sedangkan Sang Ayah hanya seorang pembuat pintu, jendela, dan kusen kayu yang sudah tidak bekerja lagi lantaran kondisinya yang mulai melemah karena sakit stroke sebulan yang lalu.

Untung saja ada tetangganya yang berbaik hati, Tante Mira dan Om Herman. Tia selalu mengirimkan uang untuk kebutuhan sang Ayah pada pasutri yang belum memiliki momongan itu.

Syukurnya, mereka mau menyempatkan waktu untuk memastikan semua kebutuhan ayah Tia terpenuhi selama mengidap stroke.

Tia menitipkan Ayahnya yang sakit-sakitan pada tetangganya itu sejak bulan lalu.

Tia berjanji akan pulang dua bulan lagi dan akan bekerja di kota asalnya saja. Tapi nasib berkata lain, ia harus resign lebih cepat, dan sekarang ia sudah menginjakkan kaki di kota kelahirannya, tepatnya di sebuah rumah sakit yang bisa dibilang masih baru beroperasi di sini.

"Mbak, pasien atas nama Pak Tohir di mana, ya?"

"Bentar, Mbak." Seorang wanita yang memakai baju hijau mengecek layar komputer di hadapannya.

TERKURUNG [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang