Chapter 2

39 13 0
                                    

Follow, vote, coment, and share this story

Saya senang kalian senang :)

Let's go to the crime sense!!!

Perawat itu berjalan menuju tempat tidur Ayah Tia, cara jalannya sangat cepat, langkahnya panjang, seperti orang yang terburu-buru

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Perawat itu berjalan menuju tempat tidur Ayah Tia, cara jalannya sangat cepat, langkahnya panjang, seperti orang yang terburu-buru.

Ia meraih tirai yang letaknya menggantung di sudut lalu menariknya sampai menutupi seluruh area tempat tidur pasien.

Ia berjalan menghampiri Tia yang berdiri di dekat sofa.

"Tia?" tanya perawat itu, "saya Steffi." Dia tersenyum seraya mengulurkan tangan pada Tia, bibir merahnya merekah dengan makeup yang menurut Tia terlalu menor.

Tia langsung menyambut Steffi dengan bersalaman.

Gak mungkin Steffi gak inget gue, batin Tia.

"Tia," sapa Om Herman dengan suara pelan, "ini Steffi, dia yang akan merawat Ayahmu selama di sini sampai Ayahmu sembuh."

Mata Tia melebar dengan mulut yang sedikit terbuka.

"Minta bantuan sama dia kalau ada perlu ya!"

"Di sana ada bell." Steffi menunjuk sebuah meja di dekat ranjang pasien. "Kalau ada perlu tekan saja bell itu! Semisal kondisi pasien semakin buruk saya akan hubungi dokter."

Tia sedikit was-was kalau perawat yang mengurusi Ayahnya adalah dia.

Bagaimana mungkin seorang mantan narapidana bisa masuk ke sini?

Tahun lalu kan dia ketangkep gara-gara narkoba, lah ini kok dia bisa kerja di sini? tanya Tia dalam hati.

Tia sangat ingat kelakuan nakal Steffi semasa SMA. Dia terkenal dengan sikap pembangkang, saat SMA ia adalah siswi yang paling tidak taat aturan, langganan masuk ruang BP. Dan yang menjadi ciri khasnya adalah sering bergonta-ganti pasangan, selama sebulan minimal akan ada empat cowok yang berkencan dengannya.

"Oh iya," ujar Steffi seraya menatap layar handphone miliknya, "beruntung sekali untuk pasien kurang mampu yang dirawat bulan ini. Rumah sakit memberi bantuan khusus, hanya membayar setengah harga dari biaya yang sebenarnya."

Steffi tersenyum sambil melirik Tia. Dia menampakkan gigi-gigi putihnya yang berjajar rapi.

Tia sangat senang mendengar kabar itu. Dadanya yang sejak tadi terasa berat setidaknya menjadi sedikit lebih ringan.

"Rejeki emang gak bisa ketebak," ujar Tante Mira yang memegang pundak Tia.

"Om sama Tante pamit dulu, ya," sela Om Herman, "kita ada urusan, nanti malam kita ke sini lagi."

"Oh iya, Om, Tante. Makasih banyak bantuannya. Tia seneng banget."

"Ok, daaah." Mereka pun pergi sambil melambaikan tangan lalu menutup pintu.

TERKURUNG [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang