Ingatan Aini kembali menerawang ucapan seorang penceramah saat ia mengikuti kajian di Masjid kompleks beberapa hari yang lalu. Tema ceramah yang diambil adalah tentang poligami dimana seorang pria muslim diperbolehkan menikahi lebih dari satu wanita sesuai dengan firman Allah dalam Al-qur'an.
"... dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki." (Q.S Annisa : 3)
Aini paham makna ayat tersebut yang menjelaskan jika seorang pria muslim boleh menikahi lebih dari satu wanita tetapi jika ia tidak mampu berbuat adil maka hanya boleh menikahi satu wanita saja. Sebagian besar ulama menyebutkan bahwa hukum poligami sendiri yaitu mubah yang artinya boleh dilaksanakan boleh tidak. Ini adalah pendapat paling umum terkait poligami. Namun bisa menjadi sunah, wajib, atau bahkan haram, bergantung pada persoalan dan kaidah hukum yang sesuai bagi situasinya.
Lalu bagamana sikap Aini sebagai wanita biasa jika suaminya meminta untuk berpoligami. Jika kemarin Aini hanya mendengarkan ceramah sang ustazd tetapi kini Aini dihadapkan permintaan suaminya.
"Izinkan aku untuk menikah lagi!"
Aini menatap tak percaya pria dihadapannya. Pria yang telah sah menjadi suaminya setelah menjabat tangan ayahnya, mengucap janji suci pernikahan hingga membuat arsyi Allah bergetar. Suaminya yang tak pernah menancapkan luka, imamnya yang selalu setia membimbingnya menuju Jannah-Nya. Namun nyatanya, saat ini pria berstatus suaminya menancapkan luka pertama yang begitu dalam menggores luka tak berdarah
.
"Kamu jangan bercanda Mas!" ucap Aini menatap lekat suaminya, mencari kebohongan dari permintaannya namun hanya ada raut wajah serius dari sang suami."Izinkan aku Aini untuk menikah lagi! Aku janji akan berlaku adil."
Perlahan cairan bening meluncur dari manik matanya, menarik nafas pelan untuk mengahalau beban berat yang menghantam dadanya. Aini terisak tanpa suara saat suaminya berlutut dan menggengam tangannya. Sebegitu inginkah suaminya untuk berpoligami sampai rela berlutut untuk mendapatkan restu dari sang isteri.
"Siapa wanita yang ingin kau nikahi Mas?" tanya Aini di sela-sela isakannya.
"Dyah Ayu Wulandari. Maafkan aku Aini aku kembali mencintainya!"
Sakit sangat sakit saat tahu perasaan suaminya kembali tumbuh untuk wanita masalalunya. Wanita yang menjadi cinta remaja suaminya, wanita yang amat di cintai suaminya dimasalalu. Harusakah Aini membagi suaminya untuk wanita lain atau mempertahankannya menjadi milik Aini seorang. Namun, melihat tatapan suaminya yang penuh harap membuat Aini merasa tak tega dengan suaminya, disisi lain pula Aini tak siap jika harus memiliki seorang madu.
"Selain itu apalagi alasanmu?"
Faisal Hanafi, suami Aini mendongak menatap mata sang istri yang sudah mengeluarkan air mata. Faisal menyapu air mata istrinya dengan ibu jarinya berharap mata cantik istrinya berhenti mengeluarkan air mata. Harusnya bukan itu yang dilakukan Faisal, seberusaha apapun Faisal mengahapus air mata istrinya tidak akan berhasil jika Faisal tidak menghentikan keinginannya untuk berpoligami.
"Aku ingin memiliki anak."
Faisal tahu jawaban dari pertanyaan istrinya membuat wanita itu semakin tergores oleh luka. Faisal bukan tak menyadari bahwa keinginannya adalah luka untuk istrinya, ia tahu ini luka pertama yang ia torekan untuk istrinya. Begitu dalam dan menyayat. Sementara Aini terpaku dengan ucapan Faisal, hatinya semakin perih. Aini menyadari dirinya belum menjadi wanita sempurna, ia belum di percayai untuk menjaga anugerah-Nya.
"Berikan aku waktu untuk memberikan keputusan!" Aini bangkit dari sofa yang didudukinya, kemudian kakinya melangkah menuju lantai dua dimana kamarnya berada. Didalam tubuhnya melosot, terisak pilu sambil sesekali menyeka airmatanya menggunakan punggung tangannya. Hati Aini teriris meratapi nasib rumah tangganya bersama Faisal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Atap Dua Makmum [END]
SpiritualNur Aini tidak pernah menyangka jika suaminya yang tak pernah menancapkan luka nyatanya menacapkan luka pertama yang begitu dalam. "Maafkan aku Aini! Aku kembali mencintainya."