What If

424 70 1
                                    

~°~

Kehadiran sosok yang membuat hatinya gusar tentu saja membuat Changbin lebih baik memilih untuk pergi daripada tetap tinggal dan terjebak bersama seseorang tersebut. Han Jisung.

Namun niatnya tak tersampaikan sebab ketika ia hendak kembali turun, pergelangan tangannya dicekal oleh si pemilik hazel jernih, tak memperkenankan dirinya untuk berlalu.

"Changbin..," Jisung menyeru pelan, didalam katanya terselip nada permohonan agar Changbin tetap ditempat, bersama dengannya.

Mau tak mau Changbin kembali menjatuhkan pantatnya ketempat semula, karena pintu bilik bianglala tersebut keburu ditutup dan telah bergerak menuju sisi lainnya.

Mungkin mengabaikan adalah pilihan terakhir yang ia punya. Terus bergeming kala sepasang netra itu terpatri lekat padanya, seolah Jisung tengah mengulitinya menggunakan tatapan tersebut.

Perasannya nyata, benar-benar nyata ketika si jantung dengan tak tahu malu malah bergemuruh akibat perhatian tersebut. Otaknya berulang kali meneriakkan bahwa air membenci seorang Han Jisung, sangat benci hingga muak. Namun hatinya sukar dibohongi.

"Kamu masih marah?" tanya Jisung lirih, suaranya diterpa angin malam yang berhembus tenang.

"Baiklah, kamu boleh marah, karena ya aku akui, aku udah keterlaluan. Dan aku minta maaf."

Changbin hanya melirik melalui ekor matanya, meski pandangannya menerawang jauh, telinganya masih terpasang untuk mendengarkan tiap kata yang keluar dari mulut Jisung. Dan ia benci itu.

"Gak perlu minta maaf, kamu bener, lupain aja apa yang tadi aku bilang. Anggap semuanya nggak pernah kejadian."

Pemuda dengan nama belakang Han itu mengigit bibir, tangan kanannya berusaha untuk meraih jemari sang lawan bicara, namun Changbin secara terang-terangan menolak. Dan semakin memojokkan diri agar tak terdapat kontak fisik diantara keduanya.

"Aku tau, kamu jijik setelah denger apa yang aku bilang tadi. Aku juga tau, ini salahku karena suka sama kamu, temen aku sendiri. Seharusnya aku gak pernah ambil hati semua perlakuan khusus kamu. Ya, emang gak tau diri, tapi aku sadar kalo aku emang sekotor itu."

Usianya masih belia, tujuh belas tahun menginjakkan delapan belas. Remaja sepertinya masih belum bisa menemukan jati diri. Terombang-ambing dalam ombak keraguan yang terkadang bisa saja menjatuhkannya kedalam gulungan air yang dalam hingga mati tenggelam.

Changbin bahkan tak mengenali dirinya sendiri, perasaan menyimpang yang ia punya untuk Jisung ternyata adalah petaka dan sesuatu yang memalukan. Ketika ia telah menerima diri apa adanya, Changbin baru menyadari bahwa semesta tak begitu ramah untuk makhluk minoritas.

"Kamu bebas kasih tau semua orang kalau aku gay, jika aku memang semenjijikkan itu dan berbahaya buat kamu. Bukan kamu yang keterlaluan, tapi aku yang terbawa perasaan."

Dua putaran bianglala telah dilewati dengan sepi yang mencekik. Sisa-sisa kalimat Changbin tadi masih menyangkut pada rungunya. Dalam beberapa saat Jisung bergeming, sedangkan Changbin tengah mempertahankan pelupuknya yang menghangat. Sakitnya bukan main, terlebih ketika sang lawan bicara tak merespon apapun.

Jisung bukannya enggan menanggapi, dirinya hanya menunggu waktu yang tepat. Saat mesin bianglala itu tak lagi membuat bising, dan bilik yang ditempati oleh dirinya dan Changbin berhenti tepat dipuncak, Jisung mengulurkan tangannya ke sisi wajah sang teman.

Changbin tersentak akan kontak yang terjadi tanpa permisi tersebut, dan mengerjap beberapa kali tanpa menyangka bahwa Han Jisung akan menciumnya, kembali.

2012 | H.Jisung & S.Changbin | 3 | [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang