In February 2020

401 53 21
                                    


~°~

"Saya pernah nyakitin hati seseorang, secara sengaja. Teman saya sendiri."

"Waktu itu saya pikir apa yang saya lakukan, demi kebaikan dia. Tapi ternyata saya sepenuhnya salah, keputusan itu malah buat dia pergi. Mungkin marah, emang saya brengsek."

"Ini kali pertama saya kembali ke tempat ini, sehabis ditinggal pergi nggak tau kemana. Saya pun pergi, tujuannya supaya lupa dan berhenti menunggu. Setelah tujuh tahun, saya kembali. Sempat bertahan satu tahun barangkali dia datang waktu itu, tapi enggak. Minta maaf, saya cuma mau minta maaf."

Kala itu, saat Rina mengatakan bahwa Changbin telah menghilang dalam waktu yang lama, ia mulai panik mencari. Namun tak ditemui sosok yang selalu mengumbar senyum manis dan ramah, meski kadang terlihat ketus kala banyak diam. Semenjak itu pula di dalam relungnya menyusup kata rindu, akan figur lugu akan sang teman yang sempat ia sakiti.

Betapapun kukuhnya sang otak meneriakkan tak peduli, benaknya selalu berkumandang lain. Ia rindu, selama 8 tahun lamanya. Dirinya sempat menangis, begitu tersedu sangat pilu saat kediaman yang selalu penuh tawa menyapa itu tak lagi terdapat keberadaan bahkan harumnya. Si pemilik baru mengatakan bahwa penghuni lama telah pindah entah kemana.

Pihak sekolah pun hanya menerangkan bahwa Changbin keluar dari sekolah tanpa alasan yang sudi dijelaskan. Jisung remuk di pukul sesal.

Seojin, gadis yang bertanya alasan kehadirannya ke hutan bekas taman tempat mereka bertemu ini, tersenyum mendengar ceritanya. Jisung melirik, membalas sungging itu dengan sabit getir.




"Adik saya maafin kamu kok, dia gak pernah marah ke kamu."




Seojin menepuk pundak Jisung pelan, sedangkan pria itu mengatupkan bibir rapat setelah kalimat pertama yang wanita itu lontarkan menusuk rungunya.

"Saya juga nungguin kamu selama ini, adik saya mau ketemu."

~°~

Pasangan sahabat yang tampak manis dipandang itu tengah saling beradu tatap, setelah satu jam sebelumnya mengerjakan tugas sekolah yang memusingkan, akhirnya dapat beristirahat.

Namun sesuatu membuat salah satunya mengernyit heran, sebab mendapati hal aneh pada wajah lawan netranya.

"Bin, bawah mata kamu kok memar gitu. Kenapa?"

Yang ditanyai mengerucutkan bibirnya tak mengerti akan pertanyaan yang terlontar tersebut, lantas meraba tempat yang ditunjuk oleh temannya sembari mengambil ponsel untuk berkaca. Dan terperangah sendiri akan memar yang berwarna merah pekat pada bawah matanya.

"Eh, gak tau, aku baru sadar malah."

"Sakit nggak?"

Changbin menggeleng sembari meletakkan kembali si benda pintar, kembali menaruh perhatian pada temannya yang sedang khawatir.

"Enggak kok, biasa aja rasanya. Paling pas tidur aku ngapain gitu, makanya sampe memar gini. Gak perlu khawatir," ujarnya dengan santai agar Jisung pun tak perlu terlalu cemas.

Jisung mengulurkan tangannya untuk meraba memar tersebut dengan ibu jarinya lembut, Changbin terang gelagapan akan perhatian tersebut.

"Beneran nggak apa-apa, kan?"

Si remaja Seo mengangguk, "Eumm, gak perlu khawatir."

Temannya itu tersenyum lebar menyiratkan lega, namun tak berlangsung lama ketika cairan merah pekat mengucur dari hidun Changbin secara tiba-tiba. Alirannya cukup deras bahkan berjatuhan hingga ke buku milik temannya tersebut.

"Bin, darah--"

Changbin yang merasakan cairan menjalar di sekitar hidungnya itu segera menutup dengan salah satu tangannya agar darah yang jatuh tak terlalu banyak. Sedangkan Jisung bertindak cekatan untuk segera mengambil tisu yang ada di nakasnya. Mengulurkannya pada Changbin.

"Nggak apa-apa, aku juga begini kok kemaren."

Changbin berbicara sembari menyeka darah yang terus mengalir deras dari hidungnya, nyaris menganak sungai hingga kini tangannya telah dipenuhi cairan merah itu. Karena tisu tak cukup untuk membersihkan, ia akhirnya berlari ke toilet rumah milik si pemuda Han.

Jisung mengikuti di belakang, raut wajahnya begitu khawatir akan kondisi sang sahabat yang kini tiba-tiba wajahnya memucat, setelah berhasil membersihkan darah dari wajahnya dengan air. Bahkan seragam yang Changbin kenakan pun terkena bercak merah tersebut.

"Kamu sering mimisan gini?"

Changbin menggeleng, "Gak sering banget sih, kalo pas kecapekan aja."

Ia membantu mengeringkan wajah yang setengahnya basah itu dengan lengannya, masih dengan netra yang menyorot cemas. Namun malah dibalas senyum tipis seolah memintanya untuk tak perlu berpikir buruk akan kondisinya.

"Yakin? Kalo gitu tidur gih. Kamu tidur di sini aja, supaya aku bisa ngawasin."

Changbin terkekeh, kemudian menyentil dahi pemuda Han dengan riang seolah tak terjadi apa-apa.

"Berlebihan ah, udah dibilang aku nggak apa-apa. Cuma kecapekan biasa, lagian gak sakit juga."

Kala itu dirinya percaya, meski hati rasanya ada yang mengganjal. Harusnya ia telah menyadari, bahwa memar serta darah yang mengalir deras itu bukan hal yang lumrah.

~°~

Tepat delapan tahun telah berlalu, adalah terakhir kali dirinya menangkap senyum tulus yang selalu diberikan untuknya secara cuma-cuma. Pelupuknya yang hanya tinggal segaris kala menyunggingkan sabit, dengan kekehan lucu menghidangkan geli, sungguh sangat ia rindukan.

Hatinya mencelos kala netra kembali diberi kesempatan untuk memandang tubuh yang begitu ingin ia dekap, meski hanya satu detik.

Kakinya terpatri kuat, tak kuasa melawan semesta yang membuat tubuhnya mematung pada ambang pintu dengan iris yang menyorot luka sekaligus rasa bersalah.

"Changbin, ada yang mau ketemu."

Saat itu, tepat pada detik itu, rindunya yang semu sepenuhnya luruh. Karena Changbinnya akhirnya kembali. Meski dengan tubuh terbujur kaku.


~°~


~°~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
2012 | H.Jisung & S.Changbin | 3 | [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang