(-) 2012

593 58 11
                                    


~°~

"Hemofilia itu penyakit genetik, gak bisa sembuh. Makin lama, pengobatan juga gak efektif lagi."

Ia hanya diam membisu, kala bibir pucat itu mengisah banyak cerita nyata bagaikan fiksi, seolah yang diceritakan adalah orang lain.

Hatinya sakit, begitu ngilu kala tubuh kaku itu berlagak seolah mempunyai kendali berbeda, hanya kepala yang dapat bergerak, tertoleh untuk memandangnya.

Namun ia tak punya nyali untuk menyentuh, sebab terlalu malu akan kesalahan di masa lalu.

"Kenapa gak pernah cerita?"

Yang ditanyai hanya tersenyum lembut, tak pernah berubah. "Buat apa? Aku gak mau kamu temenan sama aku karena kasihan."

Relungnya tertohok, bagaikan sebuah tamparan menggunakan lembar besi yang begitu keras.

"Kalo gitu, kenapa kamu pergi?"

Changbin, sang teman yang pergi delapan tahun lalu itu tak pernah sudi menyamarkan garis tipis pada wajahnya. Seolah hidupnya tak terdapat beban, bagaikan kebahagiaan yang sukar padam.

"Aku juga nggak mau bertahan karena rasa iba. Kamu tau, kadang memaksa untuk memiliki itu malah gak berakhir baik. Aku nggak menyesal kok."

Rasa egois yang dahulu menyelimuti diri benar-benar mendorongnya ke dalam jurang yang begitu dalam. Dulu, pikirnya, jika ia bisa mengambil hati tanpa harus dikembalikan, maka tak akan ada yang tersakiti. Namun jelas semua itu salah. Ia menawarkan diri sebagai pencuri, dirinya pula yang menyesal.

Kata teman ia jadikan kedok untuk menyembunyikan perasaan hati. Dimana menolak segala rasa yang seharusnya diutarakan, dengan dalih memiliki tak harus mencintai.

"Aku... Maaf. Maafin aku."

Tangannya yang gemetar memberanikan untuk menggenggam tangan kaku yang dingin diatas ranjang tersebut, berada disisi tubuh sang teman. Lalu menggenggamnya, meskipun tak mendapat balasan.

Changbin tertawa lirih, nyaris tak terdengar selain napas yang lolos dari sana. Ia melirik tangan Jisung yang menggenggam jari-jari kakunya, namun tak begitu kentara sebab cairan yang menggenang pada pelupuknya secara tiba-tiba malah menumpuk.

"Sayang sih, aku gak bisa ngerasain hangatnya. Tapi aku masih ingat rasanya."

Jisung pun turut memandang tangannya yang menggenggam milik sang teman, yang semula hanya satu tangan kini ditimpa tangan lainnya. Berharap dengan begitu Changbin bisa merasakan hangat yang ia salurkan tersebut.

Penyakit keturunan yang Changbin derita mengakibatkan tubuhnya sering mengeluarkan darah berlebih, apalagi saat terluka. Dan kini dirinya telah mengalami tingkat yang paling parah, seluruh sistem geraknya mengalami kelumpuhan. Bahkan tubuhnya pun sudah mulai menolak obat yang masuk, semua itu tak lagi efektif. Maka dari itu ia perlu pengawasan dokter.

"Kalau aja waktu itu kamu bilang, kamu lagi sakit. Aku mungkin bakal selalu ada di sisi kamu. Maaf karena kamu harus ngelewatin semuanya sendirian. Akupun gak akan kembali ke Rina."

"Kalau aja waktu itu aku bilang ke kamu soal penyakit ini, kamu mungkin bakal bertahan karena kamu kasihan, sama kayak apa yang aku bilang di awal. Kamu tau nggak Hanji, rasa yang aku kasih ke kamu itu beneran tulus. Aku gak minta dibalas, cukup kamu tau aja udah buat aku bahagia. Lagipula, nggak mungkin kita bareng. Karena dari awal, kita emang cuma teman. Kamu baik ke aku karena aku teman kamu. Aku bersyukur karena waktu itu kamu balik ke Rina, karena aku nggak bisa bahagiain kamu. Selama kamu bahagia, itu udah lebih dari cukup--"

Jisung hanya mampu menundukkan kepala, tak punya nyali untuk menatap netra dengan sorot tulus serta teduh tersebut. Ia menyimak setiap patah kata yang terlontar lemah dari suara yang semakin lama semakin lirih itu. Hingga akhirnya, tepat ketika hampir menuju kalimat penghujung, tak ada kata yang terlontar.

Karena tiba-tiba tangan yang berada di genggamannya itu bergetar hebat, saat kepalanya mendongak, Jisung mendapati hidung Changbin telah mengucurkan darah deras. Dengan mata menjuling ke atas kelapakan, seolah kehilangan oksigen untuk bernapas. Tubuhnya bangkit saat itu juga, hendak memanggil orang mencari bantuan.

Namun, genggaman pada tangannya mengerat. Bagai tak memperkenankan diri untuk menjauh dari sana, meskipun si empunya tampak begitu kesakitan dengan tubuh telonjak berulang kali.

Disitu Jisung hanya bisa mematung, menyaksikan dalam kebisuan bagaimana Changbin meregang nyawa akibat pendarahan pada otaknya. Ia bahkan tetap membantu saat dirinya dipaksa menjauh dari tubuh yang semula tersentak hebat itu mulai mereda, seiring dengan pelupuk yang perlahan menutup dikerumuni oleh beberapa orang dengan raut panik.


Kali ini dapat dipastikan bahwa rindunya yang berkepanjangan tidak akan pernah terbalaskan. Dia yang telah pergi, memilih untuk pergi lagi setelah sejenak menyempatkan kembali.


~°~
END
~°~


~°~END~°~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terimakasih^^

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terimakasih^^

2012 | H.Jisung & S.Changbin | 3 | [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang