01. keke

71 25 8
                                    

TW❗️CRINGE

—SETELAHNYA[ prolog ]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


SETELAHNYA
[ prolog ]

Mobil berwarna putih besar itu bersinar kemerahan. Suara sirinenya membunuh jiwa serta ingatan masa kecil setiap dari para penunggu.

Para penunggu yang dengan berat hati melambai untuk kepergian mereka yang telah berpulang.

Apakah mungkin jika setiap kristal air yang terjatuh dari kelopak mata, hanyalah kepalsuan?

Jika bukan, untuk apa air mata itu? Bukankah ia telah terbang ke negeri yang jauh lebih baik?

"Jadi, bagaimana?"  Tanyaku.
"Urusanmu disini telah selesai, Keke"

Dengan lirikan terakhir, aku melangkah menuju cahaya. Kenanganku akan dunia fana telah usai.


20 Oktober 2018
[ 3 bulan sebelumnya ]

—RUMAH SAKIT
kamar pasien, 16.45 WIB

"Memangnya kamu pernah sadar?"

Semua awal yang berharga ini, pada akhirnya sampai ke satu akhir. Tidak ada yang percaya.

Tidak ada yang peduli.

Sudah sebulan hal ini terus berlanjut, sebulan yang melelahkan, penuh dusta dan rasa yang cenderung memaksa tawa.

"Ngapain bawa motor?" Suara yang amat familiar bagiku, menyapu bersih air mata yang tanpa sadar telah menggenang sejak tadi.

"Katamu motor butut itu sudah dijual."

Aku tersenyum, mencoba mencerna perkataannya. Apakah ini ejekan khasnya, atau ini hanya sebatas kesombongan miliknya? Tipikal.

Dia bukanlah kekasihku. Hanya seorang teman yang telah terikat janji kusut. Mungkin.

"Temanku dirawat, Sea. Teman kita. Kenapa selalu motor yang ada di pikiranmu?"

"Dia tidak akan mati jika ditinggal sebentar..."

Aku melirik sosok yang berbaring tanpa daya di depanku. Badannya yang berpostur kecil makin mengurus.

Entah apakah ia sudah pernah melihat cahaya perbatasan, atau dengan tidak beruntung masih berada di gelapnya dunia kami.

"...tapi dia bisa mati jika tidak makan" Lanjut Sea.

Nendra namanya, kami berteman semenjak SMP. Kecelakaan yang menimpanya bukan sesuatu yang sulit untuk dijelaskan, namun tragis.

Ditengah malam, dia terjatuh dari tangga saat mengendarai motor.

Kepalanya sempat terluka parah, masih beruntung jatuhnya kebetulan disaksikan seorang gelandangan tua yang segera menolongnya.

Gang kecil tempatnya terjatuh bukanlah tempat favorit setiap orang. Tempat itu bau dan gelap. Mengapa dia perlu kesana?

Pertanyaan itu terus menghantui orang-orang, sanak saudara, teman, orangtua, bahkan Sea.

Saat itu, hanya aku yang mengetahui kebenaran yang terkubur disini.

​"Keke, ayo"

​Namaku Keke, dan aku sudah resmi meninggalkan dunia pada usia ke-tujuh belas tahun, atau tepatnya besok, ketika matahari mengecup selamat tinggal.

​Pada hari ini, aku tidak pernah mengira apa yang akan terjadi padaku, bagaimana, dan kenapa.

Namun, satu hal pasti, aku tahu bahwa kematianku bukan kecelakaan. Aku tidak bodoh.

​Namaku Keke,
aku dibunuh oleh salah satu sahabatku.

-
21 Oktober 2018

SEKOLAH
pekarangan belakang, 17.30 WIB

​Saat itu jadwalku piket memberi makan ikan-ikan koi di danau belakang. Jarang ada orang yang suka rela datang kesana. Kabarnya karena beredarnya cerita-cerita horor.

Danaunya tidak besar, namun juga tidak luas.

​"Kamu tahu, mitosnya, ikan koi bisa mengabulkan permohonan. Mereka bersinar bak emas, dipercaya membawa keberuntungan."

Jaket tebal membalut permukaan tubuhnya, masker dan topi terpasang rapih ke wajahnya, suaranya serak, membuat sosoknya tidak bisa kukenali.

Tapi aku yakin, ia adalah salah satu dari sahabatku.

Walau tertutup jaket, samar kulihat cahaya bersinar pelan, dan aku yakin itu adalah gelang pemberian ku untuk Sea dan Nendra.

​"Emas membawa ketamakan. Begitu juga harapan" Jawabku ngaco. Apa saja bisa jadi jawaban.

​"Danau ini kotor, permukaannya saja tidak terlihat."

​"Semoga harapanmu menyuruhku mencari ikan koi itu kau simpan lagi." Aku bercanda.

​"Tidak. Harapan tetap harapan. Sekalipun ia mati."

​Hening. Sekelilingku menjadi hening dan gelap. Sosok itu hilang. Semua berlalu terlalu cepat.

Badanku basah kuyup dan berbau amis. Rambutku kusut dan berminyak. Dadaku sesak.

Lantas aku berlari, berteriak berharap mendapat jawaban. Tapi saat itu sekolah telah sepi—semua cahaya telah meredup, hilang semua tanda-tanda kehidupan.

Jangankan di sekolah. Tidak ada seorangpun di jalan. Langkah demi Langkah telah habis diterpa angin, tali harapan mulai terputus.

Aku berlari, tidak memperdulikan sekitar. Bahkan ketika aku menabrak seorang wanita.

​Tidak ada lagi yang bisa kuraih, sampai saat itu aku sadar, bahwa aku tidak lagi berjalan dibawah langit.

Aku sedang menepi, membuat ingatan sebelum mengucapkan kata selamat tinggal.

Aku berada di perbatasan antara hidup dan mati.

lingkaran waktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang