02. peristiwa

48 24 4
                                    

-23 Oktober 18

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-
23 Oktober 18

RUMAH NENDRA
ruang tamu, 18.00 WIB

​Semua telah hilang. Semua perasaan yang awalnya kumiliki telah menghilang. Segala sedih, bahagia, simpati. Yang tersisa hanya dendam.

​Suara keran terdengar jelas dari kamar mandi.

Nendra yang sudah kelelahan, sempoyongan ke asal suara. Lampunya masih menyala.

Wajar jika ia pikir memang benar itu salahnya yang lupa mematikan semuanya. Dia masuk dan menutup keran wastafel.

Namun, sesaat, perhatiannya terarah ke toilet, dua ikan koi berwarna emas berenang ria didalamnya, membuat mual dan ngeri.

​Tanpa sadar ia melangkah mundur, menjatuhkan cermin yang terpasang di pintu. Ia pecah berkeping-keping dibawah kakinya, melukai tumit kaki kanan.

Dengan kedua ikan koi yang menari ditoilet, ditambah keran air yang kunjung kunyalakan lagi,

ia telah kehilangan akal.

Anehnya, tidak ada sedikitpun keraguan dalam diriku. Saat itu api membara dalam tekadku.

Aku berdiri disudut toilet, menatapnya lekat-lekat.

​Kata-katanya tertahan, ia tidak bisa menjerit.

Saat itu aku sangat yakin bahwa ia melihatku, melihat wajahku dan sosok seperti apa diriku sekarang.

Nendra mengalihkan pandangannya, aku sangat menyesal, tidak ingin membunuhnya dalam rasa takut, namun egoku tak tertahan.

Dia mengalihkan pandangannya tertuju cermin. Sosokku muncul lagi, hanya saja, aku tidak berdiri.

Ia bisa merasakan rambutku yang kusut dan berminyak bersentuhan dengan bahunya.

Pantulan cermin itu seolah mengatakan, "Temannu yang telah dikabarkan meninggal bergelantungan di langit-langit kamar mandimu."

Air mata membanjiri jiwanya, sebuah senyum tulus terukir diwajahnya, melukiskan rindu yang tak tertahan.

Namun aku terlalu bodoh untuk sadar,

bahwa ketakutan yang dirasakannya bukan karena bertemu denganku, ataupun sosok mistis.

Melainkan takut terkait kebenaran apa yang terikat dan tersembunyi, dan apa yang akan kuketahui.


24 Oktober 2018

SEKOLAH
kelas, 12.30 WIB

​Jam berganti jam, detik berganti detik, Sea sudah berada diujung kesadaran.

Saat ini kelas matematika. Wajar jika murid lain tertidur, namun berbeda dengannya.

Aku tidak ingin berharap, namun yakinlah bahwa ia telah dikuasai depresi akibat kematianku.

Matanya membuka layu, seandainya ia tahu apa yang akan dihadapinya sekarang, ia tidak akan pernah membukanya.

Dunianya terasa gelap, ia menjulurkan tangan ke kolong meja, medapati seutas rambut panjang.

Itu bukan rambutku.

Degupan jantungnya melebihi batas wajar.

Aku selalu tahu sebelum saat ini; kita tidak akan pernah sendiri, mereka selalu ada, dekat maupun jauh, mereka ada disekeliling kita.

Hanya—kita tidak pernah berharap untuk melihat wujudnya. Mereka yang tidak terlihat.

Dugaanku, Sea telah memaksakan diri untuk masuk ke alam gaib, mencoba berinteraksi. Tentu saja aku mulai sadar tentang hal itu ketika sudah menjadi bagian dari 'mereka'.

Kali ini botak, tinggi, hanya menggunakan celana pendek. Ia seperti kayang di langit-langit, dan berjalan memutari kelas.

Matanya besar, melotot kearahku, tubuhku membeku, separuh nafasku telah terangkat entah kemana, Sosok itu bergerak turun, jarak kami sudah berdekatan. Sepuluh? Tidak. Lima sentimeter.


24 Oktober 2018

JALAN RAYA
trotoar, 17.20 WIB

​Baru lewat dua hari setelah mayatku ditemukan, dan mereka sudah mendapati kawanan baru. Ia adalah seorang wanita berumur dua puluh tahun.

Aku memang tidak pernah bisa berpikir cepat, namun saat itu aku telah berada diujung keyakinan.

Ialah wanita yang saak itu kutabrak, ketika aku telah meninggalkan dunia mereka; alam fana.

​"Ini hanya akhir yang mengawali" Katanya dengan yakin kepada Sea dan Nendra.

​"Semua percaya itu hanya kecelakaan. Tidak dilakukan penyelidikan apapun."

​"Keterlaluan jika kita bisa berharap, Nendra."

​"Lalu, untuk apa kau di sini, Seli?"

​"Perlukah alasan untuk saling membantu? Kita sepupu. Sudah semestinya, kan?"

​"Keke berbeda dari kebanyakan sosok yang sudah kau temui." Kata-katanya terlontar masam.

​Tapi itu menarik sebuah kesimpulan bagiku. Seli, sepupu Nendra, bisa melihat apa yang seharusnya tidak terlihat.

​"Jadi kamu percaya sekarang?"

lingkaran waktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang