Happy reading guys...
• • •
Tepat dua hari sudah Ara menjadi siswi SMA Taruna. Pukul 06.10 ia telah siap dengan seragam lengkapnya, khas siswa-siswi SMA Taruna. Menuruni tangga, Ara mendapati sang kakak yang sedang duduk dihadapan televisi dengan cemilan di pangkuannya.
Namanya Kai, Kai Putra Daniswara. Pria muda itu sekarang sedang mengemban pendidikan di salah satu universitas Kota Jakarta, sekaligus mengelola sebagian perusahaan ayahnya.
Tap tap tap
Mendengar suara langkah kaki, Kai menengok dan mendapati Ara sedang menuruni tangga.
"Langsung sarapan aja dek, itu di meja udah abang siapin. Maaf abang sarapan duluan, soalnya keburu laperr," kata Kai disertai ringisan diakhir kalimatnya.
"Iya gak papa. Yaudah Ara sarapan dulu ya bang," kata Ara yang diangguki Kai.
"Gimana di sekolah baru dek?" tanya Kai ketika Ara mulai memakan sarapannya.
"Baik," sahut Ara.
"Hari ini abang nganterin Ara kan?" tanya Ara setelah meminum susunya.
"Iya. Yaudah yuk berangkat." Kai berjalan ke garasi diikuti Ara.
• • •
Mobil Kai berhenti di depan gerbang SMA Taruna. Sekolah mulai ramai karena memang sudah lumayan siang.
"Ara masuk dulu ya bang," pamit Ara sambil mencium tangan Kai.
"Iya. Sekolah yang bener, pulang nanti abang jemput," Kai mengacak pelan rambut Ara.
"Iya. Assalamualaikum BangKai." salam Ara sambil cengengesan.
"Ck. Udah dibilangin kalo panggil abang jangan pake nama! Kalo mau pake nama panggil kakak aja!" protes Kai kesal karena sebutan dari adiknya.
"Suka-suka Ara dong. Kan emang nama abang itu Kai, jadinya Ara panggil bang Kai. Emang mau apalagi?" balas Ara meledek Kai.
"Udahlah Ara masuk dulu, takut telat. Lagian adeknya salam bukannya dijawab malah ngoceh gak jelas. Dosa lohh," ucap Ara dengan mata memicing.
"Iya iya! Waalaikumsalam!" kesal Kai sambil menjalankan mobilnya menjauhi gerbang SMA Taruna daripada harus meladeni ucapan Ara.
• • •
"Selamat Pagii," sapa Ara kepada Fisha yang sedang duduk mengobrol dengan seseorang entah siapa.
"Eh. Pagi juga Ra."
"Eh kenalin ini Kiki sahabat gue. Dia kemaren gak masuk jadinya lo gak tau," terang Fisha kepada Ara dan seseorang yang katanya bernama Kiki.
"Dan Kiki, ini Ara, murid baru yang masuk kemaren. Di temen baru kita.""Hai. Gue Kiki, salam kenal," dengan senyum ceria, Kiki mengulurkan tangannya.
"Ara. Tiara Putri Daniswara, salam kenal juga," balas Ara menerima uluran tangan Kiki. Sesaat Ara merasa tangan Kiki sedikit menegang, mungkin? tapi setelahnya tidak lagi.
"Daniswara?" tanya Kiki dengan nada memastikan.
"Iya. Itu nama keluarga gue. Kenapa Ki?" tanya Ara heran.
"Hah? Oh. enggak!" balas Kiki cepat. Sedangkan Fisha hanya mengedikan bahunya acuh.
• • •
Mata pelajaran terakhir adalah matematika, salah satu pelajaran kesukaan Ara. Dengan mudahnya ia mengerjakan semua latihan soal yang diberikan oleh Bu Nia selaku guru matematika. Seisi kelas terkagum-kagum akan kecerdasan yang ia miliki, dan tadi Bu Nia menyuruhnya untuk tidak pulang dulu, katanya ada yang mau disampaikan.
Dan di sinilah Ara sekarang, duduk di sofa ruangan Bu Nia menunggu apa yang akan disampaikan olehnya.
"Sebentar ya Tiara. Tunggu satu orang lagi," kata Bu Nia diangguki Ara.
Tok tok tok
"Masuk!" teriak Bu Nia ketika ada yang mengetok pintunya.
Ceklek
Berwajah datar tapi tampan adalah sosok dari seorang remaja laki-laki yang langsung menyalami tangan Bu Nia ketika pintu terbuka. Mata Ara tak lepas dari wajah tampan laki-laki itu.
"Assalamualaikum Bu," ucapnya.
"Waalaikumsalam. Silahkan duduk Satya," Bu Nia mempersilahkan Satya duduk. Ia dia adalah Satya. Satya Aji Pranadipa.
"Oke karena semuanya udah kumpul, Ibu langsung mulai aja ke intinya," Bu Nia memulai pembicaraan.
"Satya, ibu memanggil kamu karena Ibu ingin meminta kamu untuk ikut olimpiade matematika tahun ini. Ini akan jadi olimpiade terakhir kamu sebelum naik ke kelas 12. Bagaimana? Bisa?" Bu Nia menatap Satya.
"Bisa," jawab Satya mantap. Karena memang ini bukan kali pertamanya ikut olimpiade.
"Kalau Tiara bagaimana?" Bu Nia mengalihkan tatapannya ke Ara.
"Eh?"
"Apanya yang bagaimana Bu?" Ara merasa terkejut, karena ia rasa Bu Nia belum menanyakan apapun padanya, dan juga, sedari tadi Ara sibuk memerhatikan sosok tampan di sebelahnya yang mengakibatkan ia tidak fokus dengan perkataan Bu Nia.
Bu Nia tertawa mendengar respon Ara. Sedangkan Satya hanya melirik sekilas.
"Jadi ibu juga mau minta kamu ikut Olimpiade matematika, untuk jadi partnernya Satya. Bagaimana? Bukannya di sekolah lama kamu dulu,kamu juga suka ikut Olimpiade?" tanya Bu Nia."Ohh."
"Iya Bu saya juga mau," jawab Ara dengan senyum manisnya. Toh menurutnya ikut olimpiade gak bakal rugi, malahan banyak keuntungan yang akan kita dapat.
Mendengar jawaban kedua muridnya Bu Nia merasa lega.
"Alhamdulillah kalo kalian setuju. Jadi, nanti ibu yang akan menjadi pembimbing langsung buat kalian. Olimpiadenya sendiri insyaallah akan dilaksanakan sekitar tiga bulanan lagi. Untuk bimbingannya, kita adakan setiap hari sepulang sekolah, agar mendapatkan hasil maksimal. Bagaimana?" Bu Nia menatap bergantian kedua anak muridnya."Siap Bu," ucap Satya.
"Saya juga bu," timpal Ara.
"Oke karena semua udah sepakat, jadi mulai besok kita mulai bimbingan ya. Oh iya kalian sudah saling kenal?" pertanyaan Bu Nia dijawab gelengan kepala oleh Ara dan Satya.
"Kenalan dulu dong. Kalian itu adalah partner, bekerja bersama, berusaha bersama. Tujuan kalian sama, membuat harum nama sekolah kita, dan komunikasi yang baik akan mempermudah prosesnya," kata Bu Nia.
"Cepetan kenalan."
Dengan gugup dan sedikit gemetar Ara mengulurkan tangannya ke hadapan Satya.
"Ehm. Tiara," kenalnya."Satya," singkat Satya menerima uluran tangan gadis cantik dihadapannya, lalu melepasnya.
Bu Nia yang melihat kecanggungan mereka hanya mampu tersenyum.
"Sudah tidak papa, sekarang masih canggung. Tapi nanti kedepannya kalian harus lebih dekat, masa sesama partner canggung begitu sih, yang ada komunikasi kalian gagal," pesan Bu Nia yang dibalas anggukan kaku mereka berdua."Sekarang kalian sudah boleh pulang ke rumah masing-masing. Nanti ibu buatkan grup WhatsApp untuk media diskusi kita," Bu Nia bangun dari duduknya diikuti Ara dan Satya.
"Yasudah Bu saya pamit. Assalamualaikum," Satya menyalimi tangan Bu Nia lalu melenggang keluar tanpa menoleh lagi ke dalam. Satya memang bukan anak yang selalu taat aturan, tetapi sikapnya terhadap orang yang lebih tua patut diacungi jempol.
"Waalaikumsalam," jawab Bu Nia.
"Saya juga pamit ya Bu. Assalamualaikum," Ara melakukan hal yang sama dengan Satya.
"Iya. Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan ya Tiara," Bu Nia melambaikan tangannya. Memang guru yang satu ini sangatlah ramah.
"Iya bu terimakasih," Ara melanjutkan langkahnya untuk meninggalkan area sekolah dengan kondisi jantung yang sedikit, berdebar mungkin?
• • •
A/NThanks to all SCHICKSAL readers😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Schicksal
Teen FictionTakdir tak selamanya sesuai dengan keinginan dan harapan. Karena terkadang, takdir menimbulkan kekecewaan. Oleh takdir, kita diberi kesenangan. Oleh takdir, kita diberi kebahagiaan. Dan oleh takdir, kita juga diberi kepahitan. Seperti kisah mereka...