Happy reading...
• • •
Dengan langkah yang riang serta senyum cerah, seorang Tiara Putri Daniswara melangkahkan kakinya di koridor. Banyak yang menyapanya, karena meskipun masih baru Ara sudah terkenal karena keramahannya. Tak jarang Ara yang sering menyapa duluan, seperti sekarang.
"Pagi Ca..."
"Pagi juga Ra," jawab perempuan berambut sebahu dengan senyum ceria yang sedang menyapu di koridor.
"Morning Euis."
"Morning juga teteh geulis," ucap seorang adik kelas bernama Euis lengkap dengan logat sundanya yang khas.
"Selamat pagi Mang Ujang," sapanya ke sosok pria paruh baya yang merupakan petugas kebersihan.
"Eh. Selamat pagi juga Neng Ara," ucap Mang Ujang.
"Baru berangkat Neng?" tanyanya.
"Iya mang. Yaudah Ara ke kelas dulu ya, semangat kerjanya mang!"
"Siap Neng, sok atuh mangga mangga," kata Mang Ujang.
Ara melanjutkan perjalanannya sambil menyenandungkan salah satu lagu kesukaannya.
"Na...nanana nananana"
"Na...nanana nananana"
"Na...nanana nananana"
"Oh oh oh oh oh"
"It's the..."
Mendadak nyanyian Ara berhenti. Dari arah depan Ara melihat Satya berjalan berlawanan arah dengannya. Tas yang disampirkan di bahu dan seragam yang terbilang rapih, Ara akui Satya memang tampan, hidungnya mancung, rahangnya tegas, netranya yang tajam, bibir tebal dan alis tebal, serta postur tubuh yang tinggi. Mungkin jika disadingkan dengan Satya, Ara hanya sebahunya.
Ara sangat gugup berhadapan dengan Satya, apalagi jika bertatapan dengan manik matanya. Mengintimidasi! Meremas kuat tali tasnya, Ara mencoba tetap tenang.
Huhh.
Tarik nafas...
Buang nafas...
Tarik lagi.
Buang lagi.
Jaraknya dengan Satya semakin dekat.
Tepat saat mereka berpapasan, Ara pura-pura tak melihat Satya dan berjalan lurus.
Lurus terus...
Jangan nengok...
Jangan nengok....
"Lo gak nyapa gue?"
Eh?
Ara menghentikan langkahnya.
Wait wait!
Lo gak nyapa gue?
Nyapa?
Satya minta disapa Ara?
Seriously?!
"H--hah?!"
"Tadi semua orang lo sapa, kok gue enggak?"
"L--lo? Lo minta ... gue sapa?" tanya Ara dengan gugup.
"Hah?!" Satya tersadar.
"E--enggak!" sangkalnya. Giliran Ia yang kini panik. Ia merutuki mulutnya sendiri di dalam hati. Kenapa juga Ia harus mengatakan itu? Mulut sialan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Schicksal
Novela JuvenilTakdir tak selamanya sesuai dengan keinginan dan harapan. Karena terkadang, takdir menimbulkan kekecewaan. Oleh takdir, kita diberi kesenangan. Oleh takdir, kita diberi kebahagiaan. Dan oleh takdir, kita juga diberi kepahitan. Seperti kisah mereka...