Chapter 8

39 16 8
                                    

Happy reading...

• • •

Dengan  langkah  yang  riang  serta senyum  cerah,  seorang  Tiara  Putri Daniswara  melangkahkan  kakinya  di  koridor.  Banyak  yang menyapanya,  karena  meskipun  masih baru  Ara  sudah  terkenal  karena keramahannya.  Tak  jarang  Ara  yang sering  menyapa  duluan, seperti sekarang.

"Pagi Ca..."

"Pagi juga Ra," jawab perempuan berambut sebahu dengan senyum ceria yang sedang menyapu di koridor.

"Morning Euis."

"Morning juga teteh geulis," ucap seorang adik kelas bernama Euis lengkap dengan logat sundanya yang khas.

"Selamat pagi Mang Ujang," sapanya ke sosok pria paruh baya yang merupakan petugas kebersihan.

"Eh. Selamat pagi juga Neng Ara," ucap Mang Ujang.

"Baru berangkat Neng?" tanyanya.

"Iya mang. Yaudah Ara ke kelas dulu ya, semangat kerjanya mang!"

"Siap Neng, sok atuh mangga mangga," kata Mang Ujang.

Ara melanjutkan perjalanannya sambil menyenandungkan salah satu lagu kesukaannya.

"Na...nanana nananana"

"Na...nanana nananana"

"Na...nanana nananana"

"Oh oh oh oh oh"

"It's the..."

Mendadak nyanyian Ara berhenti. Dari arah depan Ara melihat Satya berjalan berlawanan arah dengannya. Tas yang disampirkan di bahu dan seragam yang terbilang rapih, Ara akui Satya memang tampan, hidungnya mancung, rahangnya tegas, netranya yang tajam, bibir tebal dan alis tebal, serta postur tubuh yang tinggi. Mungkin jika disadingkan dengan Satya, Ara hanya sebahunya.

Ara sangat gugup berhadapan dengan Satya, apalagi jika bertatapan dengan manik matanya. Mengintimidasi! Meremas kuat tali tasnya, Ara mencoba tetap tenang.

Huhh.

Tarik nafas...

Buang nafas...

Tarik lagi.

Buang lagi.

Jaraknya dengan Satya semakin dekat.

Tepat saat mereka berpapasan, Ara pura-pura tak melihat Satya dan berjalan lurus.

Lurus terus...

Jangan nengok...

Jangan nengok....

"Lo gak nyapa gue?"

Eh?

Ara menghentikan langkahnya.

Wait wait!

Lo gak nyapa gue?

Nyapa?

Satya minta disapa Ara?

Seriously?!

"H--hah?!"

"Tadi semua orang lo sapa, kok gue enggak?"

"L--lo? Lo minta ... gue sapa?" tanya Ara dengan gugup.

"Hah?!" Satya tersadar.

"E--enggak!" sangkalnya. Giliran Ia yang kini panik. Ia merutuki mulutnya sendiri di dalam hati. Kenapa juga Ia harus mengatakan itu? Mulut sialan!

Schicksal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang