8

994 61 17
                                    

Rabu. Pukul 7 malam.
Robin sedang duduk di sofa ruang tengah rumahnya, memangku sebuah buku tebal yang berjudul Jejak Peradaban Dunia di Tanah Jawa. Ia berniat membaca buku itu setelah mandi dan berganti pakaian. Ia memakai teng top kuning yang berenda di sisi atasnya dipadukan dengan celana gemes coksu yang hanya mencapai setengah pahanya. Namun, buku itu tidak berpindah halaman sejak awal dibuka bahkan setelah 30 menit.

"Apa yang membuatmu berat melepasnya adalah karena dia seorang atlet berprestasi yang terkenal?"
Pertanyaan Nami tadi sore terus terngiang dipikirannya. Membuat Robin meragukan cintanya sendiri untuk Zoro.

Apakah benar seperti itu? Aku hanya mencintai Zoro karena dia seorang atlet populer? Jika memang seperti itu adanya, lantas apa bedanya aku dengan gadis-gadis fans Zoro lainnya? Zoro selalu memperlakukanku dengan spesial, tapi kenapa aku...

Tunggu. Bukankah itu yang membuatku spesial? Aku mencintainya apa adanya. Aku mencintai semua yang ada dalam dirinya.

Tapi..

Nami benar, aku tidak bisa terus seperti ini. Mengalah dan mengalah demi ego Zoro.
Meneliti poneglyp bukan hanya tentang mimpiku, tapi juga mimpi mamaku. Aku tidak bisa melepaskan kesempatan ini. Aku tidak bisa mengalah untuk mimpiku.

Robin menghirup napas panjang dan membuangnya perlahan. "Mama, aku merindukanmu." Gumamnya sembari memandang sebuah foto di atas bifet di sudut ruangan.

Robin meraih ponsel di sampingnya. Jari-jari lentiknya mengetik sesuatu di keyboard ponselnya.

Ia kembali menghembuskan nafas perlahan dan melempar kepalanya untuk bersandar di bahu sofa di belakangnya setelah mengirim pesan untuk Zoro.

Robin meletakkan ponsel di meja di depannya dan menutup mata, memutar kembali kenangan bersama Zoro selama hampir 7 tahun bersama. Zoro telah membuat hidupnya berwarna. Zoro telah mengubah caranya dalam memandang dunia. Zoro yang membuatnya mengerti rasanya dicintai dan mencintai.

Dan kini.. Zoro membuatnya merasakan patah hati.

"Tidak.. tidak.. tidak.. aku belum siap." Kata Robin panik sembari mengangkat kepalanya dari bersandar menjadi duduk tegap.

Ia meraih ponselnya dan hendak menghapus pesan yang ia kirimkan untuk Zoro sebelumnya. Tapi, tanda centang sudah berubah menjadi warna biru. Zoro telah membaca pesannya, tidak ada gunanya lagi jika ia tetap menarik pesannya.

Bagaimana ini..
Robin merasakan tubuhnya lemas tak berdaya. Tangannya gemetar memegang ponsel menunggu pesan balasan dari Zoro.

Namun.. 20 menit ia menunggu, Zoro tak kunjung membalas pesannya. "Hanya diread? Kenapa Zoro? Apakah kamu benar-benar sudah tidak peduli denganku?" Gumamnya sedih.

Robin meletakkan ponselnya, menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya dan menangis tersedu. Bagaimanapun juga, ini adalah keputusanku.

Robin mendengar suara mobil berhenti di halaman rumahnya. Tak berapa lama kemudian, ia juga mendengar bunyi nyaring bel rumahnya yang dipencet berkali-kali - pertanda orang di balik pintu itu tidak sabar untuk bertemu dengan pemilik rumah.

Apakah itu Zoro? Ia datang untuk mengamini permintaannya?

Tidak Zoro. Aku belum siap bertemu denganmu. Aku belum siap mendengar langsung darimu.

Robin bangkit dan berdiri dari duduknya. Ia menggigit kuku jari-jarinya sebagai tindakan reflek ketika gugup.

-beberapa menit sebelumnya-


Zoro memasuki apartemennya yang sekarang sudah rapi, tidak lagi berantakan seperti terakhir kali ia tinggalkan. Ia sudah menyuruh orang lain untuk membersihkannya. Laki-laki bersurai hijau itu duduk termenung di sofa setelah melepas hoodie kemudian meletakkannya bersama kunci mobil dan ponsel di meja. Berbagai hal yang terjadi tiga hari belakangan ini terus berputar di kepalanya. Mulai dari Robin yang menangis meminta ijin pergi hingga dua orang teman yang menghujani kata egois pada dirinya.

Ego | Zorobin, AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang