LIMA

9 1 0
                                    

Waktu berjalan dengan begiu lambat. Aku hanya ingin semua luka ini berlalu tanpa harus aku merasakan, tegarkan diri dengan senyuman, syair hati tak henti memohon ampunan, berharap akan datang secerca harapan.

Namun.

Raga ini haruslah tegar, terus berjalan mencari kepastian. Tetap tegar. Melangkah bersama takdir Tuhan.

Hari ini. Masihlah sama dengan hari kemarin, terbangunkan dengan harapan yang sama, namun dengan cerita yang berbeda. Berkumandang suara Adzan, membangunkanku untuk menunaikan ibadah wajib ajaran Agamaku.

Rumah ini begitu sunyi, hanya suara dari radio tua menemaniku menyambut pagi. Ayah sudah lebih awal bangun dariku. Setengah gelas teh hangat di atas meja kayu ruang tamu dan radio yang menyala, membuat tanda bahwa ayah sudah berangkat untuk mencari nafkah.

Perlahan silau keemasan menembus jendela-jendela rumahku, melukis bayang di setiap sudut ruangan. Kilau antik meja, lemari, dan rak buku yang semuanya terbuat dari bahan jati, menyiarkan keremangan yang lain. Menyejukkan. Menenangkan.

Setelah semua urusanku dengan rumah tua berukuran 10 x 14 meter persegi ini selesai, aku berangkat untuk bekerja yang tak jauh dari kediamanku ini.

Tak ada kebisingan yang mengiringi perjalananku, hanya suara dari rantai yang berputar dan pedal sepedahku ini yang terus aku gayuh. Suara-suara mesin berjalan pun masihlah sangat jarang.

Sekitar dua puluh menit mengayuh pedal sepadaku. Sampailah aku di sebuah pondok makan yang menyajikan makanan khas sunda di kampungku ini. Mayoritas penduduk di kampung ini adalah orang sunda. Tak ada kursi ataupun sofa empuk di pondok ini, hanya sebuah pondok makan dengan lesehan sederhana.

"Assalamualaikum, Bude," ucap salamku pada seorang perempuan yang sedang menyapu halaman depan pondok makannya itu.

"Wa'alaikumussalam, Neng." Menjawab salamku sembari menyipitkan matanya dan tersenyum menatapku. "Eh, kamu kemarin kok gak datang neng? Kamu udah sarapan belum?" tanya bude padaku cemas.

Berjalan aku menghampirinya. Meraih tangannya untukku memberikan salam. "Amhi kemarin ada urusan mendadak sama temen, Bude." Ya, sontak itu membuat bude cemas. Karena kemarin seharian aku tak membantunya di pondok makan.

"Ah! Temen apa temen ...? Bilang aja kamu kemarin main sama Dani, kan?" ucap bude embari tertawa kecil meledek.

Tak berkata aku di buatnya. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

"Sok atuh neng, sarapan dulu! Tuh, di dapur bude udah siapin sarapan buat kamu," ujar bude dan melanjutkan menyapu halaman.

"Nuhun, Bude." Berjalan aku meninggalkannya sendirian dengan kesibukkannya.

Bude, adalah satu-satunya orang yang sangat dekat denganku dan peduli kepadaku (setelah ayah). Hubunganku dengan Dani pun semuanya sudah aku ceritak dengan bude. Namun, tidak dengan janin ini. Aku sama sekali tidak menceritakan apa yang terjadi pada diriku ini kepada siapapun.

Matahari menyongsong tinggi. Semilir angin menggugurkan dedaunan yang mati. Tiba saatlah jam makan siang.

Pondok kami pun ramai pengunjung yang berdatangan untuk sekedar makan, ngopi, istirahat dari kesibukkan kerjanya.

Mandor-mandor kebun biasanya mengisi jam istirahatnya di pondok kami. Bersebelahan dengan mess karyawan yang bekerja di kebun sawit membuat pondok kami pun ramai pengunjung di setiap harinya.

"Bude, pesen kopi dong," teriak salah satu mandor.

"Iya, Kang."

Kini, pondok yang sepi seketika berubah menjadi ramai dengan suara-suara mereka yang sedang bercanda, bercerita menghilangkan penatnya dari lelah bekerja.

"Neng, ini anterin kopinya ke meja ujung dekat pintu ya!" Perintah bude padaku. Kami pun sedikit kualahan di buatnya.

"Kang, ini kopinya."

"Eh, nuhun neng Amhi. Kemarin kok gak ada? Akang nyariin tau." Dengan tatapan mata yang merayu dan suara yang manja, ia mencoba menggodaku.

"Amhi, kemarin sakit kang. Amhi tinggal kebelakang ya kang." Secepatnya aku meninggalkan ia setelah memberikan kopi pesanannya tersebut.

Godaan, kata-kata tak senonoh seringkali aku dapatkan di desa ini. Mungkin, parasku yang menawan ini membuat jiwa pria mereka mengebu-gebu. Warna kulit putih kecoklatan ini berpadu selaras dengan tinggi tubuh 165 cm, rambut panjang sebahu berwarna hitam ini seakan menambah kecantikan yang di anugrahi Tuhan padaku.

Dani, adalah salah satu lelaki beruntung yang terpikat senyumku dengan lesung pipit yang aku miliki.

Tugasku adalah menjaga kasir dan sesekali mengantarkan pesanan di pondok ini. Setelah selesai dengan mengantarkan kopi, aku kembali di tempatku.

Samar-samar terdengar sebuah pembicaraan di antara para mandor yang sedang istirahat. "Kang, kemarin aku melihat Narti datang ke kebun. Sepertinya dia menemui mantan suaminya itu." ucap salah satu mandor.

"Narti ...? Buat apa dia kemari lagi ya? bukankah sudah beberapa tahun dia gak balik ke desa ini?" sahut temannya.

"Entahlah! Sejak insiden perselingkuhannya itu membuat nama baik desa ini menjadi jelek. Apalagi ia berselingkuh dengan kades di sini."

Sudah sepuluh tahun kejadian itu berlalu, namun seakan menjadi masih menjadi pembicaraan hangat di desaku. Ya, Narti adalah nama mama tiriku. Ibu dari kak Bram.

Mama meninggalkan ayah dan memilih pria lain yang memiliki banyak harta. Berselingkuh dengan seorang kepala desa yang ada di desaku. Perselingkuhan itu menjadi insiden yang selalu di ingat oleh warda desa ini, bagaimana tidak? Itu adalah sebuah perselingkuhan yang pertama kali ada di desaku yang tentram ini.

Menarik napas panjang. Aku tidak terlalu mengambil hati akan omongan mereka yang suka mencampuri urusan orang lain. Sudah menjadi hal yang biasa bagiku. Terbelum lagi, bisa dikatakan aku menyandang gelar bunga desa di desaku ini. Entah apa yang membuat mereka menjulukiku sebagai bunga desa di sini, padahal tak ada yang spesial di diriku ini. Sama halnya seperti wanita-wanita pada umumnya yang ada di desa.

Seorang pria datang menghampiriku, yang kala ini aku sedang di sibukkan dengan menghitung uang pendapatan siang ini.

"Neng! Jangan melamun kenapa sih? Siang bolong nih. Hehehe ...."

"Astaghfirullah, Kang. Kamu ngagetin aja atuh kang. Orang mah salam dulu apa gimana gitu!" Sontak itu membuatku terkejut.

"Ya ... iya! Assalamualaikum neng gelis." Sapa pria itu mengucapkan salam, sambil menggodaku.

"Ahh, telat! Wa'alaikumsallam," jawabku dengan sedikit rasa kesal.

"Mau makan kang? atau cuma mau ngopi?"

"Makan atuh, Neng. Kan akang laper habis kerja seharian buat cari modal halalin kamu." Sekali lagi pria itu menggodaku. Namun, itu tidak membuatku tergoda akan rayuannya.

"Ya udah, akang tunggu sebentar. Amhi siapin dulu!"

Bude saat ini sedang sibuk melayani tamu yang lain, jadi aku yang menyiapkan makanan di dapur. Terdengar suara motor yang tak asing bagiku yang sepertinya itu berhenti di depan pondok ini.

Tak lama kemudian. Bude datang menghampiriku sambil berbisik ia mengatakan, "Neng! Tuh di depan, kamu di cariin sama Dani."

Seketika suasana hati pun berubah. Terlamun sejenak aku meresapi perkataan Bude.

Dani? Ada apa dia dateng kemari? Tanyaku dalam hati mencoba menduga-duga kalau ia datang kesini membawa berita baik yang ingin sekali aku mendengarnya mengatakan itu.

To be continued ....

AMHITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang