IV

2.2K 190 6
                                    

"Teman hidup, boleh, kan?"












"Teman hidup, teman hidup your ass!" Seungcheol mendecak sebal sambil melempar kaleng soda kosong yang pegang sedari tadi.

"But your ass looks so juicy, I think."

Mata Seungcheol langsung menatap tajam ke arah Joshua yang baru saja menanggapi umpatannya tadi. Joshua diam, berbalik menatap Seungcheol dan kembali membaca novel yang setia bertengger di kuasa lelaki tersebut.

Hening tercipta. Canggung bercampur sebal mendominasi suasana. Joshua kembali angkat bicara, menutup novelnya dan mengalihkan atensi pada Seungcheol.

"Perkelahian saat makan malam malam itu, Jeonghan mengatakan sesuatu padaku."

Suasana jadi serius, Seungcheol memusatkan atensinya pula pada wira bermarga Hong itu dan duduk mendekat di sebelahnya. Tidak akan ada rumor beredar karena keduanya tengah duduk di bangku penonton yang berada di lapangan basket outdoor.

"Apa yang dikatakannya?" tanya Seungcheol. "Jeonghan bilang dia tidak bermaksud membuatmu marah, hanya kesal karena kau berkedok dibalik topeng sok bengismu itu. But, melihatmu terus melawannya malah membuat dia makin bersemangat menaklukkanmu," jawab Joshua panjang lebar. Seungcheol tertegun.

"Aku benci dia, aku tidak suka dilecehkan seperti itu."

"Tapi—"

Kalimat Joshua terpotong karena Seungcheol langsung menimpali, "Sudah cukup aku terus dilecehkan oleh teman-temannya atas ide si Brengsek Jeonghan itu sedari sekolah menengah pertama, Josh. I want to protect myself."

Joshua mengangguk. "I know, but it's better if you have someone who can protect you from him, too. I will help you as much as I can, worry not."

Kalimat menenangkan seperti itu membuat Seungcheol tersenyum dan mengambilalih novel Joshua, menepuki sisi belakang buku tebal itu ke pipi Joshua. "Aku tidak salah ketika aku bilang aku bisa percaya denganmu, Josh."

***

Seseorang yang bisa menjaganya dari Jeonghan.

Hal seperti itu terus membuat pikirannya sibuk. Tungkainya dilangkahkan seakan tanpa tuan, entah hendak kemana. Melihat Seungcheol berkeliling gedung sekolah membuat siswa lain membuka jalan, menyingkir, masuk kelas bahkan pergi ke tempat lain.

Dibelakang Seungcheol yang sedang berjalan, ada Mingyu yang mengikutinya pelan-pelan. Murid lain menatapnya heran dan cemas, takut kalau Mingyu akan jadi sasaran atas amukan Seungcheol nanti.

"Sedang mencari apa?"

Pertanyaan Mingyu sukses membuat Seungcheol tersentak dan langsung diam di tempat. Butuh waktu sampai beberapa detik hingga akhirnya Seungcheol berbalik badan dan terlihat betul tengah menyembunyikan raut wajah malu.

"Aku mau ke toilet!" jawab Seungcheol spontan. "Apa di atap ada toilet?" tanya Mingyu lagi, menoleh sebentar ke arah anak tangga yang menghubungkan ke bagian atap sekolah. Sial, batin Seungcheol.

"Apa urusanmu?" tanya Seungcheol melipat kedua tangannya di depan dada dan berjalan mendekati Mingyu. Lelaki bertubuh tinggi itu harus menahan tawa karena Seungcheol terlihat sangat lucu dan tidak berbahaya saat ini. Raut wajah yang seakan dibuat garang guna menutupi semburat rona merah di pipi, kalau saja Mingyu bisa berterus terang, sudah Ia cubit kedua pipi menggemaskan itu.

"Semua orang menatapmu heran tadi. Jadi, aku mengikutimu untuk memastikan."

Seungcheol memperhatikan Mingyu lekat-lekat setelah berucap, memastikan dia tengah berbohong atau tidak. "Ah, ya sudahlah. Cepat kembali ke kelas sana, titah Seungcheol melambaikan tangannya seperti mengusir Mingyu.

"Jangan aneh-aneh, ayo."

Mingyu menggenggam pergelangan tangan Seungcheol dan menariknya agar ikut naik ke bagian atap. Mereka sudah di sini, jam masuk pelajaran juga pasti sudah berlangsung sedari tadi. Membolos dulu apa salah, terlebih bersama Seungcheol.

"Wah, bagus sekali!" Mingyu melepas genggaman tangannya begitu sudah di atas, mengedarkan pandangannya dan memperhatikan suasana bagian atap gedung sekolah tersebut. Ternyata tidak kumuh, sama sekali.

Ada bagian yang dicat berwarna hijau dengan meja untuk bermain tenis. Ada pula tumpukan kotak-kotak kayu yang disusun jadi tempat duduk di dekat dinding, terdapat beberapa mural yang tidak murahan pula sebagai hiasan.

Mingyu sibuk memperhatikan, Seungcheol melangkah ke tempat duduk dan membaringkan tubuhnya pada tempat duduk yang panjang itu. Kira-kira muat untuk ditempati tiga atau empat orang.

"Kenapa tidak bilang soal bagian atap ini?" tanya Mingyu seraya menghampiri. "Karena kamu tidak bertanya."

Jawaban Seungcheol membuat Mingyu merengut. Tawa pelan lolos dari bilah bibir Seungcheol karena reaksi Mingyu yang lucu.

"Biasanya memang ini akan jadi tempat berkumpul kalau ada yang sedang buat acara, tapi sebelumnya harus izin dulu ke satpam agar tidak dikunci di sini. Perayaan tahun baru juga ada dirayakan di sini, tapi biasanya sih buat mereka yang kurang dihargai sama lingkungan sekitar mereka seperti rumah atau sosial."

Mingyu menganggukkan kepalanya paham. "Seru sekali, nanti kalau tahun baru, kita ke sini, ya?" tanya Mingyu. "Eh, tidak pulang ke rumahmu, memangnya? Tidak apa-apa kalau mau pulang ke rumah selama beberapa hari, penjaga asrama akan memberi izin."

Mingyu tersenyum saat melihat dahi Seungcheol mengernyit. "Tidak, ah. Di sini lebih seru, ada Seungcheol juga." Yang namanya disebut langsung duduk dan menundukkan kepalanya, mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah. Tapi mungkin Seungcheol lupa bahwa Mingyu juga bisa melihat bagaimana merahnya daun telinganya.

Sial, kenapa aku merasa lemah sekali kalau bersama si Tinggi ini, sih? Aku harus kuat, harga diri adalah segala-galanya. Aku harus kuat.

Baru saja Seungcheol selesai menghela nafasnya pelan untuk menenangkan diri dan memberi respon, Mingyu duduk di sebelahnya dan berbisik di dekat telinganya, "Apa ada ucapanku yang salah sampai membuatmu malu begitu, hm?"

Suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya. Seungcheol meneguk liur dan langsung menggelengkan kepala. Salah satu kuasa Mingyu bergerak mengusap surai milik Seungcheol dan menatap lelaki itu lekat-lekat. "Kalau begitu, kenapa gugup sekali?" tanya Mingyu.

Tidak ada respon dari Seungcheol namun Mingyu masih sabar menunggu, Ia masih mengelus rambut Seungcheol dengan lembut. "Tidak ta—nh!"

Seungcheol membungkam mulutnya dengan telapak tangan kanannya begitu hembusan nafas lembut dari Mingyu diarahkan ke daun telinganya. Hal itu malah menimbulkan suara yang tidak diinginkan. "Maaf," ucap Seungcheol dengan cepat. Bisa Mingyu rasakan bahwa suhu tubuh Seungcheol naik. Ia tertawa tanpa suara dan mengusak rambut Seungcheol dengan cepat, "Mau main tenis meja? Siapa yang menjatuhkan bola ke bawah, dia yang membersihkan kamar."

"Ayo!" sahut Seungcheol cepat, langsung berlari ke bagian tenis meja dan mengambil bet miliknya. Mingyu yang melihat itu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Melihat Seungcheol jadi tidak seberdaya tadi lantas membuatnya merasa bangga.

Ambisinya untuk menaklukkan Seungcheol sudah mulai menemukan titik terang.










.....to be continued

MINCOUPS: AmbitionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang