[01]

317 16 1
                                    

"Aku akan mengarungi sepuluh ribu samudra untuk kembali menemukanmu. Aku akan selalu tahu dimana kau berada. Aku akan selalu menemukanmu, entah sejauh apapun kau berlari"

Tubuhnya bergetar hebat karena melawan dinginnya angin musim dingin, kepalanya menengadah ke atas dan mulutnya menghembuskan kepulan asap ketika ia mendesah, atau menggumamkan doa, atau keduanya. Waktu berlalu namun rasa kebas itu masih di sana. Entah sudah berapa lama purnama sudah berlalu saat ia memutuskan untuk pergi, tapi rasa sakit masih menanunginya.

Hanya satu yang bisa ia rasakan adalah rindu. Kerinduan yang bergelung melahapnya, menenggelamkannya ke dasar palung samudra yang paling dalam.

Tak ada cahaya, tak ada udara, hanya hembusan rasa dingin.

Rasa sesak di dada yang hampir setiap hari membuatnya tersengal karena sulit menghirup oksigen. Seandainya ada cara untuk menghentikan semua kegilaan ini. Seandainya ia tahu bagaimana caranya menghilangkan semua kerinduan ini...

Seandainya ia bisa menemukan cara untuk berenang kepermukaan, mencari sumber kerinduannya, menyatakan bagaimana perasaannya yang sesungguhnya kepada gadis yang saat ini menunggunya di dalam rumah dengan penuh kesabaran, dan penuh penantian.

Atau setidaknya biarkan dia mati.

**

Ribuan purnama yang lalu sebelum perang kerajaan dimulai...

"Brengsek! Hyun seharusnya kau tidak berteriak dan mengagetkan rusa itu! Kau berteriak seperti anak bau kencur gara-gara..."

"Demi Dewa-Dewa Surga Jae Hyungnim! Kau belum pernah merasakan kejatuhan ular kobra yang nyaris menancapkan taringnya di lenganmu, makanya kau hanya bisa berceloteh dan mengumpat kepadaku. Apalah arti sebuah rusa betina..."

"Aku ingin memberikannya kepada Rin! Hati rusa cukup baik untuk..."

Seorang gadis tiba-tiba membuka pintu depan yang tinggi, terbuat dari kayu ek yang entah sudah berapa umurnya, yang jelas cukup kokoh untuk menahan gempuran kayu lain.

"Orabeoni,"

Hyun kaget ketika melihat adiknya masih terbangun —atau sudah bangun dini hari ini.

Jae langsung berhenti bicara ketika pintu terbuka, dengan tanpa bisa di kontrol kedua matanya menemukan kedua mata adik Hyun.

Dengan sangat jelas, Hyun menyaksikan bagaimana perubahan mata Jae secara langsung saat matanya bertumbuk dengan kedua mata adiknya yang terlihat sangat marah. Mata Jae yang semula berkilat penuh semangat dan emosi karena rasa kesal menjadi sorot mata yang teduh dan lembut.

"Rin..."

"Hyun! Ini dini hari dan kau baru pulang!" pekik adiknya keras, jelas sekali terdengar marah. kedua tangannya terangkat siap memukul lengan Hyun tanpa ampun, tapi ia berubah pikiran, jarinya menarik telinga Hyun tanpa ampun.

"Agassi!" Hyun mendengar suara Dongdong, asisten rumah tangga yang bertugas di rumah Aboji. Rasanya terlalu kasar memanggil mereka dengan budak, karena mereka sudah bersama sama dengan keluarga Kang selama Rin dan Hyun masih kecil.

"Rin... Rin... sakit! Berani-beraninya kau menarik telinga kakakmu..."

"Diam! Sudah sejak tadi aku menunggumu Orabeoni! Dan sekarang kau berusaha berdalih?! Kau berjanji mau memberikanku kejutan dan melarangku untuk tidur..."

Hyun mendengar Jae tertawa di belakangnya, tapi Rin langsung berhenti dan menoleh kepada Jae, melemparkan sejuta tatapan yang jelas membuat tawa Jae lenyap begitu cepat secepat datangnya.

"Jangan harap kau lolos dari semua tantrumnya, Hyung-nim," ujar Hyun yang masih berusaha untuk tidak berteriak karena tangan Rin yang menarik telinganya tanpa ampun; rasanya sangat tidak nyaman dan menyengat. Kendati Rin dua tahun lebih muda darinya, lebih lemah darinya, Hyun sangat menyayanginya.

"Hah... jadi kau mengancamku, gadis kecil?" Hyun tahu Jae tidak benar-benar menggoda.

"Apa yang membuat kalian berdua berhak memainkan jam tidurku?" Rin sudah melepaskan tangannya dari telinga Hyun dan berkacak pinggang.

Dimata Hyun, tantrum adiknya sama sekali tidak mengerikan, mendekati mengintimidasi saja tidak; karena bagi Hyun adiknya seperti anak anjing kecil yang menggemaskan dan sama sekali tidak cocok untuk marah.

"Kami berusaha menangkap rusa untuk ulang tahun Aboji,"

"Namun sebelum bisa kami menangkap rusanya, Orabeoni-mu mengagetkan si rusa dengan berteriak seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya..."

"Itu juga karena aku kejatuhan ular berbisa dan aku yakin siapapun akan berteriak seperti wanita..."

"Jangan suka merendahkan siapapun di sini karena kesalahanmu sendiri, Orabeoni!"

"Maafkan aku..."

Hyun mendesah kesal ketika ia berkomentar yang membawa-bawa soal 'merendahkan' soal wanita di depan Rin, pasti adiknya itu akan mengeluh.

"Maaf karena merendahkan wanita atau maaf karena membuatku terjaga sepanjang malam?"

"Dua-duanya..."

Rin kemudian menghela nafas panjang dalam, Hyun baru menyadari sejak tadi kalau Jae tidak berhenti memandangi adiknya dengan tatapan yang jarang sekali Hyun lihat. Jae kemudian berdeham, "berhenti marah-marah, Rin. Tidur saja sekarang. Atau paru-parumu akan berulah lagi."

Perkataan Jae barusan jelas membuat Rin menghela nafas panjang, Hyun yakin kalau adiknya sangat bicara panjang dan lebar tentang perbuatan mereka —Hyun sendiri — yang menyuruh adiknya berjaga sepanjang malam. Alih-alih ia hanya mendengar desahan nafas pasrah.

"Urusanku dengan kalian jelas belum selesai...!" kata Rin, jelas-jelas kepada merka berdua. Pandangan matanya menatap Hyun dan Jae secara bergantian. Adiknya segera berjalan menjauhi dua pemuda tersebut di temani oleh Dongdong yang bertubuh gempal dan gemuk.

Hyun sekali lagi mendapati Jae yang sejak tadi diam memandangi Rin dengan mata yang penuh dengan tatapan yang penuh dengan kelembutan. Hyun mendesah, "kenapa tidak melamarnya dan menikahinya?"

Jae menoleh dan menyeringai, "aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Hyun."

Seringaian Jae barusan membuat Hyun berhenti mendesak. lalu Jae mendengus," Nah, sekarang, biarkan aku tidur di sini. Ini adalah satu-satunya cara kau menebus kesalahanmu karena membiarkan rusa itu lari!"

Hyun hanya memandangi kebodohan dua manusia yang kebetulan adalah seseorang yang ia anggap dengan kakak, juga adik yang sangat Hyun sayangi.

Ya, Hyun berharap kepada surga agar merestui keduanya untuk bersatu.

Selaksa SamuderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang