[07]

85 6 0
                                    

Atap Rumah kediaman keluarga Park Jae, awal musim semi, sebulan sebelum perang dimulai.
Rin mendesah keras dan sebal. Ia sudah berjam-jam berada di sini, menangis keras karena lagi-lagi Hyun mencuri semua persediaan buku bacaan Rin untuk ujian akhirnya. Padahal, Hyun seharusnya bisa pinjam di perpustakaan sekolahnya sendiri, alih-alih ia justru mengambil buku yang baru saja Rin akan baca. Tidak lama kemudian Rin melihat sebuah kepala menyembul keluar dari bawah, memperlihatkan kedua mata kecil milik Jae. Ia memanjat beberapa anak tangga, kemudian duduk di samping Rin.

"Sudah selesai menangis?"

Rin memalingkan wajahnya, masih merajuk. Jae kemudian terkekeh dan menyodorkan sebuah buku ke wajah Rin, sekilas Rin membaca judulnya dan segera menoleh ke arah Jae.

"Bagaimana kau bisa mendapatkan itu, orabeoni?"

"Hyun memberikannya padaku," gumam Jae. Lalu kemudian Jae mengeluarkan dua tangkai bunga lili dan kembali menyodorkannya kepada Rin. Membuat Rin kembali terkisap.

"Lili!!"

Rin berseru keras, terlalu bersemangat membuat Jae sedikit terlonjak dengan hal tersebut.

"Tenang, hanya lili dan sebuah buku," gumam Jae sambil terkekeh.

Rin tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya yang disebabkan oleh empat hal penting, atau empat, mungkin. Buku, norigae, lili, dan sinar rembulan.

"Banyak desas-desus kalau perang akan segera terjadi. Raja sudah berusaha menghindari perang tapi Liao sepertinya..."

"Apakah itu berarti kau harus berangkat?" tanya Rin.

Jae tidak menjawab, "apakah kau akan menahanku pergi? Atau, apakah kau akan merasa sedih kalau aku pergi?"

Rin tidak menjawab, tentu ia akan merasa sedih kalau Jae pergi. Ia menoleh ke arah Jae yang sekarang memandangi langit yang sangat luas, air wajahnya terlihat serius dan tidak seperti biasanya. Penuh dengan senyum, penuh dengan ketengilan yang sudah terlalu familiar untuk Rin.

"Tentu aku sedih..."

"Apakah cukup sedih untuk menahanku pergi?" sekarang Jae memutar kepalanya dan memandangi Rin yang menggigit bibir bawahnya.

"Orabeoni..."

Jae masih memandangi Rin dengan kedua mata yang hangat, teduh, penuh dengan kasih sayang. Pandangan yang selalu membuat Rin merasa aman.

"Mau kabur bersamaku? Itu akan membuatku tidak perlu ikut berperang... aku bisa terus bersamamu dan menjagamu."

"Jangan bercanda!"

Mereka berdua saling diam satu sama lain. Jae masih memandangi Rin, dan Rin sendiri melihat ke arah lain.

"Menikahlah denganku, Rin..."

Rin tahu kalau surga mendengar pernyataan Jae barusan, disaksikan oleh bulan, buku kesayangannya, dan dua tangkai bunga lili. Rin memejamkan kedua matanya, berharap ia bisa menahan diri untuk buru-buru menjawab.

**

Kediaman Permaisuri Park setelah Kemenangan Dinasti Goryeo
Perutnya mulai menyembul nyata, mual-mualnya sudah berkurang walaupun akhir-akhir ini nafasnya selalu tersengal ketika ia berjalan terlalu jauh. Tabib menyarankannya untuknya tidak terlalu sering begadang dan membiarkan dirinya terpapar angin malam. Ia hanya tidak punya teman untuk berbicara tiap malam. Ryu belum kembali dari medan perang bahkan setelah sebulan perang berakhir, itu membuat Rin merasa semakin berat. Kehamilan ini membuat ia berfikir tentang banyak hal, bahkan tentang keberadaannya di Istana ini.

Selaksa SamuderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang