[06]

86 5 0
                                    

Malam sebelum Ryu bertemu dengan Lai Fen

"Kau menulis apa sih?"

Jae mengangkat kepalanya ketika Ryu bertanya. Jae melipat kertas yang ia pandangi sejak tadi sebelum ia menyerahkannya kepada Ryu.

"Simpan itu."

"Untuk apa?"

"Kalau-kalau aku tidak selamat dari perang ini. Berikan itu kepadanya."

"Kepada..."

"Gadis yang aku cintai," ujar Jae sembari menyeringai lebar. Ia juga mengeluarkan sebuah norigae berwarna pucat dan tersenyum lebar, mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara seolah tengah menyetarakannya dengan bulan.

Sialan, Ryu harus menyaksikan pemandangan menyakitkan ini sekali lagi. Ia hanya kembali menyerahkan kertas tersebut kepada Jae.

"Kau yang menyerahkannya sendiri. Aku belum tentu bertemu dengannya."

Itu adalah kebohongan publik, namun Ryu tidak peduli. Entah bagaimana ceritanya Ryu merasa kalau ia mulai mengagumi Jae. Pria itu sungguh memiliki wawasan luas berdasar, dan Ryu menyesali kenapa pria itu sama sekali tidak bergabung dalam urusan politik Kerajaan ketika Ryu yakin kalau Ayah Jae adalah seorang politikus juga.

Jae kembali menyamakan pandangan dengan Ryu sebelum ia menyeringai lebar, ia menyambar suratnya lagi dan menyelipkannya di antara lipatan kain di dalam baju zirahnya.

"Tidurlah. Biar aku berjaga malam ini."

Ryu tidak berkomentar apa-apa. Jae masih memegangi norigae tersebut.

"Rebutlah wanita itu, Jae. Kau bilang dia akan..."

"Tidurlah, brengsek. Tidak perlu mengajariku bagaimana menghadapi cinta. Aku akan menghadapinya sendiri."

Ryu hanya menatap Jae tanpa berkomentar sebelum kemudian ia memejamkan mata dan mengikuti kata-kata pria yang cukup bawel dan berisik ini, walaupun diam-diam Ryu cukup menikmati keberadaan pria itu. Jae adalah gambaran seorang kakak yang tidak pernah ia miliki.

***

Hari berikutnya di hadapan Lai Fen
Jae sudah kehabisan tenaga, ia sudah menebas dua prajurit terakhir yang menghalangi dirinya dan Lai Fen. Ryu menyeka dahinya yang basah karena peluh bercampur darah lawan. Entah bagaimana bentuk wajahnya, entah bagaimana semua ini akan berakhir.

Kali ini Lai Fen turun dari kudanya dan meludah sekali lagi. Dua prajurit yang ada dj sebelah Lai Fen mundur beberapa langkah. Jae mengerang karena kehabisan tenaga, sementara Ryu juga meludah dan terengah. Ia sudah bersiap menyerang ketika Jae merentangakan tangannya, menghalangi Ryu untuk menyerang terlebih dahulu.

"Pergi, Yang Mulia,"

"Jae."

"Pergi, selamatkan dirimu atau kau di sini dan lihat aku meluapkan amarahku kepadamu dengan menghancurkan Panglima Perang besar kepala ini!" raung Jae.

Ryu melempar pandangan bergantian dari Jae kepada Lai Fen yang sekarang tengah menyeringai lebar dengan permintaan konyol Jae tersebut. Jelas-jelas pertarungan ini sama sekali tidak seimbang. Lai Fen memang licik dan penuh dengan tipu muslihat.

"Anak muda, apakah kau yakin?"

Jae menolehkan kepalanya dan menyeringai lebar, memaksa dirinya untuk berdiri tegap sembari menghela nafas panjang, dalam dan berat. Dengan keras kepala ia berusaha bangkit dari semua rasa lelahnya. Entah amarah, semangat, atau kebodohan lah yang menggerakan Jae untuk bertindak impulsif. Ryu sendiri tahu kalau ego Jae akan terluka kalau ia mencampuri urusan dua manusia ini.

Selaksa SamuderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang