[09]

111 6 0
                                    

Paviliun dimana Rin tinggal, tengah malam
Ryu berdiri di luar sebuah paviliun yang sekarang terlihat gelap, ia hanya berdiri tanpa melakukan apapun. Hanya memperhatikan dan tidak berbuat apa-apa karena ia terlalu pengecut. Ia ke sini hanya dengan Pengurus Kim saja, sementara pengawal menunggunya jauh-jauh. Kemudian Ryu memutuskan untuk berbalik dari tempat ia berdiri, hendak kembali ke kediamannya namun suara pintu yang terbuka menghentikan langkah kaki Ryu. Ia memutar tubuhnya lagi, dan saat itulah ia melihat Rin berdiri di sana. Kedua matanya sembab, wajahnya pucat, ia terlihat seperti sudah tidak tidur selama berhari-hari, ia terlihat tidak sehat. Di belakangnya ia diikuti oleh Dayang istana yang berusaha menahannya untuk keluar namun Dayang istana tersebut membungkuk, memberi salam kepada Ryu.

"Ada apa ini?" tanya Ryu. Rin tidak menjawab, namun kemudian Dayang Kwon membuka mulutnya, "ampun Baginda, Yang Mulia Ratu..."

"Aku hanya ingin keluar," ujar Rin. Suaranya dingin.

Ryu mengerutkan kening, ia kemudian berjalan mendekat, menaiki tangga dan menghampiri Rin. Ryu mengangkat tangannya dan menyentuh dahi Rin dengan punggung tangannya, Rin segera menepisnya.

"Yang Mulia, kau demam. Kembalilah ke kamar dan istirahat," bisik Ryu.

"Aku hanya ingin keluar sebentar, mencari udara. Aku sudah di dalam sini selama entah berapa lama, aku butuh keluar, Baginda."

"Tidak. Masuk, Yang Mulia. Aku akan menemanimu."

Rin kembali menepis tangan Ryu, walaupun tanpa tenaga sama sekali, tindakan tersebut membuat Ryu merasa terluka.

"Lagipula kau tidak akan tinggal, aku hanya ingin keluar sebentar..." ujarnya.

"Lalu apa? Kau mau menangis sepanjang malam, tidak tidur, dan menolak makan? Pahamkah kau kalau semua tindakanmu ini membahayakanmu dan bayimu?" bentak Ryu.

Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak membentak Rin walaupun ia tahu kalau Rin akan terkejut dan segala macam, hanya saja tingkah Rin bisa dibilang kekanakan. Rin mengangkat kepalanya, menatap Ryu dengan dingin.

"Apa hakmu memarahiku seperti itu? Kau bahkan tidak ada di sini sementara aku harus menderita sendiri. Mungkin penderitaanku di sini hanya karena aku tengah mengandung, dan kesepian, oh tidak lupa, aku mengkhawatirkanmu juga. Kau pergi berperang dan bahkan tidak kembali setelah perang usai. Apakah kau peduli dengan semua ketakutanku kalau-kalau kau gugur di medan perang?"

Suara Rin memang pelan, namun itu cukup membuat Ryu terhenyak.

"Lalu kau kembali, dan kau memberitahuku tentang..." air mata Rin sudah jatuh lagi.

Ia menghela nafas panjang dan menoleh ke Dayang Kwon yang masih menunduk namun diam-diam mengawasi percakapan mereka berdua. Tatapan tersebut berarti sesuatu, kemudian Dayang Kwon menggeser tubuhnya dan undur diri. Bersamaan dengan Rin yang kemudian melempar pandang ke arah Pengurus Kim untuk menyingkir.

Ryu menganggukkan kepala, setuju dengan Rin dan kembali menatap Rin yang terlihat benar-benar marah setelah mereka semua mundur jauh-jauh.

"Kau pulang, tapi kau mendorongku menjauh, kenapa?" tanya Rin.

Ryu tidak segera menjawab, jantungnya berpacu dengan cepat terlalu gugup dengan pertanyaan itu. Rin masih menunggu jawaban dari Ryu namun tidak ada yang keluar.

"Aku sudah cukup kehilangan Park Jae orabeoni di medan perang, tapi kau tetap pergi ke medan perang karena itu kewajibanmu dan bahkan Baginda tidak kembali setelah perang lama berlalu. Aku kira kau mati di sana. Bayangkan perasaanku! Aku sangat merindukanmu dan takut setengah mati, tapi waktu kau kembali kau memberikan norigae dan surat itu, kemudian menjauhiku. Apa maksudmu? Apa yang sebenarnya hendak kau lakukan kepadaku? Kau mau terang-terangan menolakku dan anak dalam kandunganku? Kau berubah pikirkan?"

Selaksa SamuderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang