❝Nama lo Dela, gue Panves, kalo nama kita digabungin jadi 'delapan'.❞
❝Terus?❞
❝Lo tau apa arti angka delapan?❞
❝Gak dan gak mau tau.❞
❝Delapan itu angka yang garisnya nyambung terus, gak pernah berhenti. Kayak gue dan lo, takdir kita selalu ketemu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
KEPUTUSAN keluar rumah untuk mencari udara segar justru membawa petaka. Seharusnya gadis berbaju pink itu tak perlu sok tau dengan sengaja berkeliling setelah dari minimarket hingga tersasar seperti ini.
Bagian komplitnya, karena dia harus terjebak di jalan dengan orang berjaket hitam berkomplotan tampak membawa alat tajam.
"Radel, Radel lo bego banget sih!" Tak henti-hentinya dia menyalahkan diri sendiri. Sekitarnya ini masih tampak asing. Bagaimana tidak, dia baru pindah dua hari lalu ke kota ini. "Terus gue harus gimana dong?" gumamnya sendiri. "Kalo gue mati di tengah jalan gimana? Kan gak elit banget ya gue mati karena korban salah sasaran."
Oh jelas, bagaimana bisa siswi pintar, ah tidak-tidak, Radela Linetta siswi yang pandai menghitung dibanding menghafal justru korban tawuran. Padahal yang demi kartun bernard bear yang tidak bisa ngomong itu Radel selalu berusaha menghindari hal-hal yang membuatnya celaka.
"Eh lo cewek baju pink hello kitty!"
"Plis deh ya, ini bukan hello kitty tapi beruang." Dia memutar mata malas yang kemudian tersadar menoleh kaget. Matanya sontak makin membulat melihat kerumunan cowok yang mengacungkan bambu runcing dan alat-alat tajamnya. Jaraknya memang jauh tapi tetap saja nyawanya cuma ada satu. "Mampus lo, Del!"
Tanpa pikir panjang, dia langsung berlari membawa kantong belanjaan di tangan. Ah menyusahkan! Karena banyak minuman yang dia beli kantongnya jadi terasa berat.
Tapi tunggu ...
"AW!" Dan tentu saja, Radel memang tak punya bakat lari. Ditambah batu itu menyampah di jalan. Dia berakhir jatuh. Meringis menepuk-nepuk pelan celana trainingnya yang robek menunjukkan dengkulnya yang terluka. "Sial banget sih gue! Kenapa perlu juga gue pindah rumah kan jadi susah!"
Gerutuannya berganti pekikan saat tubuhnya tahu-tahu ditarik bangun dari belakang.
Antara ingin memaki dan juga ketakutan sendiri, Radel langsung menoleh waspada. Dan bagaimana mata sipit itu menusuknya di balik topi putih yang ditutup lagi jaket hoodie. Dia sedikit mundur kaget. "Lo ... bagian dari mereka ya? Lo mau bunuh gue? Mama gue baru daftar sekolah baru kemarin, biayanya mahal kalo gue ..."
Radel berhenti berbicara kala tangan dengan urat-urat vena menonjol kekar tak lagi permisi menariknya untuk berlari.
Hah? Berlari?
Yang bodohnya Radel tak mampu mengelak dan membiarkan langkahnya mengikuti langkah kaki cowok itu yang tentu jauh dari ukuran langkahnya. Rambutnya yang dicepol jadi tak beraturan lagi.
Sampai Radel menghentikan kakinya dan membungkuk. Napasnya ngos-ngosan. "Bentar-bentar, aduh jantung gue mau meledak ini." Radel terbatuk-batuk. Ah! Pasokkan udaranya seperti tak bisa dia hirup lagi saking kencang jantungnya berdetak.
"Mereka masih ngejar."
Bukan itu yang membuatnya kaget, melainkan suara serak yang pertama kali menelusup telinga. Radel jadi mendongak, dan bodohnya bagaimana wajah dengan alis tebal, hidung mancung, iris gelap, dan rahang kokoh itu mengajak Radel untuk memandang lebih jauh.
Begitu sempurna dan memesona.
Shit! Ingatkan Radel jika cowok ini cuma orang asing yang menariknya tiba-tiba.
Namun, detik berikutnya dia tersentak saat tiga orang dari kerumunan tadi mengepung mereka.
Ah tidak! Radel tidak bisa melihat perkelahian!
Dia melangkah mundur dengan lelaki tadi yang maju berdiri menghalangi tubuhnya.
"Oh jadi jagoan ya lo sekarang?" Salah satu dari mereka berdecih.
"Gue emang selalu jadi jagoan bukan?" Radel menaikkan alis tak mengerti mendengar nada sombong di sana. Setelahnya, Radel cuma melihat musuh tadi hampir menendang cowok sipit itu yang ditangkis langsung.
Radel tak mau melihatnya. Dia tak mau. Dengan sengaja berjongkok menutupi seluruh wajahnya ditekukan kaki. Dia cuma bisa mendengar suara perkelahian. Tendangan. Tangkisan. Makian. Tapi, tak sekalipun Radel mendengar lelaki bertopi itu mengumpat kasar.
Sepertinya Radel cukup lama berposisi seperti itu saat lengannya kembali ditarik pelan. Dia menengadahkan kepala dengan cowok itu yang mengusap sudut bibirnya yang berdarah. "Ayo cepetan!"
Dan lagi-lagi Radel tak mampu mendorong cowok itu dan malahan membiarkan tangannya ditarik kembali. Kakinya berlari lagi.
Yang bodoh siapa?
Radel merasa bingung dengan dirinya yang bersikap aneh. Bagaimana bisa dia membiarkan orang asing ini mengajaknya berlari yang entah kemana. Dan kemana sifat juteknya saat berhadapan dengan orang asing.
Cuma karena takut, Radel melupakan soal itu?
Pada sebuah gang sempit cowok itu menariknya bersembunyi. Kecilnya ruang yang ada membuat keduanya berdiri sangat dekat.
Radel jelas masih butuh udara banyak. Apalagi dibawa habis berlari. Namun, posisi ini justru tak membantunya sama sekali. Radel terpojok dengan cowok yang menjulang menghadapnya.
Dia makin tak bisa bernapas!
"Stttss!" Radel merasa jantungnya berhenti berdetak kala cowok itu menempelkan telunjuk di bibirnya. Dari sudut mata, dia bisa melihat di ujung gang komplotan berjaket itu tampak berlarian menyerang lawan di depan jalan sana.
Selama cowok berhoodie biru depannya itu menoleh ke arah ujung jalan, wajah sampingnya tak dapat dielak begitu menarik perhatiannya selama beberapa menit. Kalau saja pemilik wajah itu tak menoleh dan membuat Radel membuang muka salah tingkah.
Apa-apaan dirinya ini!
"Kita udah aman kayaknya." Lelaki itu kemudian menurunkan tudung hoodie sekaligus melepaskan topinya. Menunjukkan pada Radel rambutnya yang berantakkan.
"Buat apa lo lakuin ini?" Saat menurunkan kepala, Radel cuma bisa melihat celana jeans hitam yang sobek. Jelas penampilan cowok ini harus Radel waspadai. "Kita gak saling kenal."
"Gue nolong tanpa mandang kenal atau gak." Seperti sengaja cowok itu berbisik hingga Radel harus memundurkan kepala yang sia-sia karena terhalang tembok belakang.
"Lo siapa?"
"Bukannya harusnya lo berterima kasih?"
"Gue gak kenal sama lo, terus tiba-tiba lo narik gue kayak tadi. Sok kenal banget kan? Jadi udah pantes dong harusnya gue tau lo si—"
"WOI!" Teriakkan kencang itu menarik perhatian kedua orang di sana untuk menoleh. Di ujung gang, ada seorang lelaki berjaket hitam yang tampak terburu-buru. "Cepetan bego, ada polisi!"
"Gue anggep lo berterima kasih dengan ini," Radel antara syok dengan minuman yang dia beli di minimarket tahu-tahu berada di tangan cowok itu. Atau pada ujung bibirnya yang terangkat memberi pengaruh besar bagi Radel. "Sekarang tanggal delapan, gue pastiin ini bukan pertemuan terakhir."
Tanpa kata, lelaki itu kembali menutup kepala dengan topi dan tudung hoodie, yang kemudian berlari pergi. Meninggalkan Radel yang terdiam bisu sendiri.
𝒫𝓊𝒷𝓁𝒾𝓈𝒽 : 𝟤𝟪/𝟢𝟪/𝟤𝟢𝟤𝟢-𝒟𝑒𝓁𝒶𝓅𝒶𝓃
☾
HELOOOO SELAMAT DATANG DIPART PERTAMAAAA :)))))
Gimana-gimana? Tertarik gak baru awal?
Kalo iya disimpan ya di library kalian. Dan jangan lupa tinggalin vote ama komen sayangkuh. Tengkyu yang udah sempetin mampir :*