❝Nama lo Dela, gue Panves, kalo nama kita digabungin jadi 'delapan'.❞
❝Terus?❞
❝Lo tau apa arti angka delapan?❞
❝Gak dan gak mau tau.❞
❝Delapan itu angka yang garisnya nyambung terus, gak pernah berhenti. Kayak gue dan lo, takdir kita selalu ketemu...
BEL istirahat sudah berkumandang, kelas yang sejak tadi ribut makin ramai oleh sorakkan. Jovita menutup bukunya merangkul Radel. "Kantin yuk."
"Gece deh," Lula malah sudah berdiri mengulas perutnya. "Anak cacing gue udah pada ribut nih."
"Kalian duluan aja, gue mau ke perpus bentar."
"Ngapain?" ujar Jovita bingung.
"Iya nih pala lo gak berlumut dari tadi udah belajar?" Lula takjub. "Asal lo tau ya, pala gue kayak bercabang banyak ini saking stressnya."
"Gue mau selesain tugas tadi biar di rumah gue bisa istirahat." Alasan yang sangat masuk akal yang bisa Radel berikan. Dia tidak mungkin menceritakan kalau tugasnya yang tak selesai ini bisa jadi boomerang saat dirinya di rumah. Ara bisa menekannya habis-habisan. Ditambah guru lesnya yang justru akan menumpuk banyak tugasnya.
"Wah ajaib banget emang lo," Lula menggeleng kepala ngeri. "Harusnya lo gue kirim ke museum, Del jadi manusia terlangka."
"Gue tau lo dari dulu emang ambis. Tapi lo makin-makin ya." Jovita tertawa, yang kemudian berdiri. "Kita duluan aja Lul, kalo udah selesai semedi di perpus nyusul ya."
Radel mengacungkan jempol. Merapihkan mejanya saat sudut matanya menangkap kursi belakang yang kosong. Oh, haruskah Radel peduli pada kursi yang sudah kosong sejak kelas dimulai pagi tadi.
Dia antara percaya dan tidak jika masih ada manusia yang benar-benar semasa bodoh itu pada pendidikannya sendiri. Panves datang, Radel tahu saat tak sengaja bertemu di depan kelas, cowok itu tak mengatakan apapun cuma melirik, setelah mengabsen di depan pintu dia berlalu pergi.
Sambil mendekap buku tulis dan pulpen di rok selututnya, Radel melangkah keluar kelas. Berjalan diantara keramaian. Dan tidak bodoh untuk Radel tahu jika salah satu kerumunan melihatnya tak suka. Ini bukan mau Radel untuk dianugerahi wajah jutek tanpa senyum seperti ini.
Di dalam perpus dia langsung melangkah ke arah rak tinggi dengan buku-buku yang tersusun rapi. Langkahnya berhenti di dekat meja panjang pojok yang tertutup setengah rak. Alisnya mengangkat tinggi karena lelaki yang menghilang sejak pagi di kelas ternyata tertidur di sana berbantalkan tangan.
Radel mendengkus, melangkah berbalik mencari meja lain.
"Mau kemana lo?"
Cuma nada datar seperti itu, kakinya membeku di pijakan. Dengan sangat terpaksa memutar kakinya kembali. Lelaki itu dengan sudut bibir yang membiru, membalas tatapannya. Meski, ada rasa tegang, Radel mencoba santai.