Chapter 3 : Terpana

2.5K 53 0
                                    

Note : Halo semuanya, sebelum membaca tolong klik votenya yah. Terima kasih ^^

Lalu, Lily dan Stefan masuk ke dalam mobil dan perlahan mobil pun melaju menjauh keluar dari komplek perumahan, tempat di mana Lily dan keluarganya tinggal.

Sepanjang perjalanan, Lily terdiam dan pandangannya tertuju ke luar jendela, menatap lalu lalang mobil yang melintas di samping atau di depan mobil Stefan.

Stefan yang melihat hal tersebut, merasa penasaran dengan yang dipikirkan oleh gadis itu.

"Ly, loe kok diem terus. Ada apa sech? Ada masalah apa?" tanya Stefan penasaran.

Lily pun menoleh pada Stefan dan menjawab, "Masalah banyak, Van. Gue bingung gimana cara bantu kedua orang tua gue. Mereka harus bayar hutang, membiayai keperluan rumah dan lain sebagainya. Kalau gue sampai gak diterima kerja, gak tahu dech harus gimana lagi."

"Jangan patah semangat gitu donk, setiap orang pasti ada masa jatuh bangun dalam hidupnya. Dan loe juga khan terhitung masih mahasiswi baru lulus, jadi wajar jika cari kerja masih susah, secara loe belum ada pengalaman sama sekali," jawab Stefan.

"Ya, memang. Tapi, gue sedih dan rasanya gak tega ngelihat keadaan orang tua gue. Mereka sekarang lagi putar otak nyari cara bikin usaha kecil-kecilan gitu. Gue cuma punya satu harapan semoga gue bisa nyenengin mereka, itu aja sech kalau Tuhan berkenan mengabulkan doa gue."

"Amin, Ly. Loe tahu khan gak ada yang mustahil kalau Tuhan sudah berkenan, yang harus loe lakukan sekarang itu adalah loe harus semangat dan gak pantang menyerah. Gue yakin loe pasti bisa bertahan di berbagai kondisi. Gue dan lainnya selalu ada untuk loe."

"Makasih yah, Van. By the way masih jauh gak tempat tujuan kita? Kok gue jadi deg-degan yah?" ucap Lily seraya menyentuh bagian tengah dadanya, berusaha menenangkan perasaannya yang gelisah dan gugup.

"Gak usah gugup, kalau gugup malah loe gak bisa konsen jawab pertanyaan atasan. Malah loe ntar gak keterima," jawab Stefan serius.

"Oke, oke. gue paham. Gue tenangin diri dulu." Lily menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, ia melakukan hal itu berulang kali.

Sepuluh menit kemudian, mobil yang dikendarai oleh Stefan telah memasuki area Pondok Indah. Keduanya disajikan pemandangan yang sungguh memanjakan mata dan membuat hati iri.

Di sisi kanan dan kiri berjejerlah rumah-rumah mewah nan megah dengan model yang beraneka macam pula. Selain mewah, semua rumah di daerah itu sangat luas dan besar.

Lily terkagum dan matanya terbelalak melihat semua pemandangan tersebut. Tak henti-hentinya dia berdecak kagum dan melontarkan pujian untuk rumah-rumah tersebut. Stefan hanya bisa tersenyum simpul melihat segala tingkah Lily.

"Van, astaga. Rumah-rumah di sini bagus banget. Kapan gue punya rumah seperti ini?" ucap Lily sembari menikmati pemandangan yang terpampang di sisi kiri dan kanan mobil.

"Secepatnya, itu doa gue buat loe, Ly."

Lily menoleh pada sahabatnya tersebut dan mengucapkan, "Thank you, Van."

"Nomor berapa rumahnya, Ly?" tanya Stefan sambil mengemudikan mobilnya perlahan dan menengok ke kiri dan ke kanan mencari keberadaan rumah yang mereka tuju.

Lily membuka tasnya dan meraih kertas catatan yang ia simpan di dalamnya.

"Rumahnya nomor 18, Van."

"Kayaknya sebelah sana," jawab Stefan.

Setelah menyusuri sekitar enam rumah, akhirnya mereka menemukan rumah yang dimaksud. Baru saja Stefan memarkirkan mobilnya, pria itu terkejut tatkala mendengar seruan kagum yang dilontarkan oleh Lily.

"Wah, Van. Gile, rumah ini tuh gede banget. Mewahnya ya ampun, yang punya pasti konglomerat ini," ucap Lily terkagum-kagum.

"Yaiyalah, Ly. Bisa beli rumah di sini kalau bukan konglomerat terus apa? Ortu gue aja belum tentu sanggup beli rumah di sini," ujar Stefan sambil mematikan mesin mobilnya.

"Ly, ayo turun. Jangan kelamaan, khan kita mau nge-mall."

"Aku kok jadi gugup, tunggu sebentar aja,"

Lima menit kemudian, Lily sudah mulai tenang. Ia mengambil tote bagnya dan mengajak Stefan turun. Lantas, keduanya turun dan berjalan menuju ke pintu pagar besar, luas yang bercat hitam dengan desain yang artistik.

Decak kagum kembali dilontarkan oleh gadis itu, matanya menatap dan menelusuri setiap inci dari pintu pagar rumah tersebut. Seumur hidupnya, itulah kali pertama ia melihat pintu pagar yang semewah itu.

Stefan kembali menjahilinya dengan berkata, "Ly, nanti di dalam loe jangan malu-maluin. Kagum boleh, tapi jangan norak gitu."

"Norak gimana? Memang gue baru pertama lihat hal kayak gini," jawab Lily lugu.

"Ya, cukup kagum dalam hati aja, tatapan mata loe dijaga. Di dalam pasti lebih mewah lagi."

"Iya, iya. Gue paham."

Lalu, keduanya berjalan menyusuri teras yang sangat luas dan besar dengan ukuran luas di kisaran lima ratus meter persegi. Di bagian tengah teras terdapat taman mini yang dipenuhi oleh aneka macam bunga.

Kemudian, di area sebelah kanan berjejer empat buah mobil mewah yang terparkir dengan rapi. Kini, keduanya sampai di pintu depan rumah tersebut. Sebuah pintu yang besar, tinggi dan berdesain minimalis.

Rumah mewah ini berdesain minimalis modern yang ditambah sedikit kesan ala Victorian yang berfungsi hanya sebagai hiasan rumah saja.

Stefan menekan bel yang terletak di kanan atas pintu. Dia menekan satu kali, suasana rumah saat itu sangat sepi dan hening.

Tidak lama, terdengar suara pintu dibuka, tampaklah seorang wanita paruh baya yang mengenakan seragam khas asisten rumah tangga berwarna biru muda. Wanita itu tampak keheranan melihat Lily dan Stefan.

"Maaf, Den sama Non ini mau cari siapa yah?" tanya wanita itu.

"Maaf, Bu. Kami belum menyapa. Kami diminta datang kemari karena yang empunya rumah mencari seorang guru les privat. Dan kebetulan teman saya ini adalah gurunya. Apakah pemilik rumah ada? Boleh kami masuk?" jawab Stefan lengkap.

"Oh iya, Tuan sudah titip pesan sama saya. Maaf saya lupa tadi," jawab wanita itu.

"Silahkan masuk Den, Non. Duduk dulu di sini dan tunggu sebentar yah, saya akan panggilkan Tuan." Wanita itu mempersilahkan keduanya duduk di sofa ruang tamu yang besarnya sofa hampir sama dengan luasnya dua kamar di rumah Lily.

Bentuk sofa yang melingkar membentuk huruf U, berwarna abu dengan desain minimalis. Lalu, sebuah meja berwarna hitam, berbentuk persegi dengan sedikit corak bagai coretan tak beraturan di atasnya, tetapi tampak indah dan berseni.

Dua buah pendingin ruangan dinyalakan oleh wanita itu, seketika udara dingin menyelimuti seluruh ruangan.

Pada dinding di sekitar ruang tamu, terpampang aneka lukisan berukuran besar, baik itu lukisan berteman pedesaan, maupun bertema seorang wanita zaman Victorian dengan pakaian khasnya.

Di sudut dalam berdiri sebuah patung prajurit yang memakai pakaian khas prajurit di zaman Mesir Kuno yang didominasi warna emas dan hitam.

Mata keduanya terbelalak hanya dengan melihat ruang tamunya saja. Mereka berdecak kagum berkali-kali dan tak henti-hentinya meneliti setiap sudut ruangan tersebut.

Tidak lama, terdengar suara langkah kaki berjalan ke arah mereka dan melewati punggung keduanya. 

Terbawa Hasrat sang CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang