6

34 2 0
                                    

Six

"Pukul berapa sekarang ?" Tanya Xabiru yang tengah berjalan di antara kerumunan para pegawai. Sesekali dia menganggukkan kepalanya membalas sapaan para bawahannya tanpa senyum sedikit pun. Itu sudah cukup memperlihatkan bagaimana berkuasanya seorang Xabiru di perusahaannya ini.

"Pukul satu siang, waktunya makan siang, Pak." Balas Sendu yang kini tengah menyamakan langkah kaki bos nya itu. Dia berusaha memamerkan senyuman meskipun hatinya yang kini tengah dongkol karena mendadak mbak Novi senior di grup kubikel nya itu mendadak tak bisa masuk karena anaknya sakit DBD.

Xabiru mendadak menghentikan langkahnya ketika tepat berada di sebuah eskalator perusahaan yang menghubungkan antara lobby dan lantai satu tempat dimana orang-orang pemasaran bekerja. Sebenarnya Xabiru dan Sendu bisa langsung menaiki lift untuk sampai di lantai dimana ruangannya berada. Namun karena Xabiru kekeh ingin melihat kinerja para pekerja di bagian pemasaran, akhirnya dia memutus kan untuk menaiki eskalator.

"Sendu berjalan di sisiku."

Sendu berjalan tiga langkah kedepan dan kini Xabiru dapat melihat mata bulat dan senyuman itu tercetak ketika Sendu sudah berada di sisinya.

"Ayo."

Xabiru dan Sendu mulai menaiki eskalator yang berjalan pelan. Diketinggian itu Xabiru mampu melihat kinerja para pekerja dibalik dinding-dinding kaca yang. Semua teratur, rapi, dan— cantik. Xabiru menatap Sendu yang tak hentinya tersenyum. Beberapa detik Xabiru terpana, hingga akhirnya dia tersadar dan melihat lagi sekelilingnya, menyembunyikan rasa gugupnya.

"Oh iya, Pak. Tadi di perjalanan Pak Hartono bilang ingin bertemu dengan bapak, pukul 2 siang ini."

Xabiru mengernyit. "Ada apa beliau mencari ku ?"

"Katanya ada urusan anak dan ayah yang harus di bicarakan."

"Urusan apa?" Xabiru mulai tak peduli.

"Saya tidak di beritahu detailnya. Pak Hartono hanya berkata demikian saja."

Xabiru hanya diam tak menanggapi ucapan sekertaris dadakannya itu.

"Apa aku ada jadwal lain selain bertemu ayah ?"

"Tidak ada."

"Baiklah. Siapkan cemilan dan teh putih. Aku rasa ayah sudah ada ruangan ku."

Terlihat dua bodyguard sudah stand by ketika Xabiru dan Sendu sudah menapaki lantai pemasaran. Lalu berlanjut menaiki lift untuk sampai ke lantai miliknya.

***
"Hy son, i miss you so bad." Ucap seorang pria tua yang merentangkan kedua tangannya. Terlihat dari kejauhan pun rambutnya sudah beruban sepenuhnya namun postur tubuhnya masih tetap terlihat bugar di usianya yang sudah menginjak 60 tahun itu.

Xabiru masuk kedalam rengkuhan pria tua itu lalu mencium sekilas pipi sebelah kirinya.

"Ayah menunggu lama ?" Tanya nya sembari berjalan ke arah sofa di ruang tamunya.

"Tidak. Ayah baru datang 10 menit yang lalu."

Terlihat Hartono yang tengah berusaha menyamankan duduknya. Memejamkan matanya lalu membuka kembali. Dipandang nya Xabiru yang duduk dihadapannya. Anaknya itu benar-benar mewarisi fisik dirinya ketika muda. Tampan dan gagah.

"Bagaimana perjalanan ayah di Macau?" Tanya Xabiru mencoba memecah keheningan.

"Sangat seru, son. Ayah bahkan berencana untuk melakukan perjalanan lagi. Mungkin Vietnam atau tidak Budapest, ayah ingin berkunjung kesana."

Xabiru hanya mengangguk tanpa membalas lebih mengenai perjalanan ayahnya yang sudah 2 bulan itu.

"Son, berapa umur mu ?"

Xabiru mengernyit. Tak langsung membalas pertanyaan Hartono.

"33 tahun."

"Kau sudah tua, son."

"Ayah harus berkaca ketika mengatakan itu padaku."

Hartono hanya cekikian ditempatnya nya.

"Kau ini, di umur segitu ayah sudah memangku mu kemana-mana."

Xabiru hanya tersenyum.

"Son, kapan kau akan mengenalkan ayah dengan perempuan mu."

"Ayah, aku belum mempunyai seseorang yang harus ku kenalkan dengan mu."

"Masa tidak ada satupun yang bisa kau kenalkan. Apa kau takut, perempuan mu akan kepincut dengan ayah, jika kau mengenalkan nya ?"

Xabiru hanya bisa tertawa mendengar ocehan tak masuk akal ayahnya itu.

"Aku yakin, Bunda tengah misuh-misuh di surga sana, mendengar suaminya berani berucap seperti itu kepada putra semata wayang nya."

Hartono hanya kembali tertawa. Matanya menatap kearah langit-langit ruangan itu. Seperti melihat sosok istri tercinta di sana.

"Bunda mu itu, dia sangat menyayangi mu. Kau tahu."

"Di hari terakhir nya, masih sangat jelas senyuman yang ia torehkan untuk ayah, elusan tangan di pipi ayah waktu itu pun seakan masih terasa sampai saat ini." Hartono menutup matanya, seakan ingatan di saat-saat terakhir istri tercintanya jelas terbayang olehnya.

"Dia berkata padaku dengan suaranya yang selembut beludru itu. Dia ingin melihat kau menikah dan bahagia dengan anak dan istri mu."

Xabiru hanya bisa diam tak bersuara.

"Dan takdir berkata lain, Bunda mu hanya harus puas melihat kebahagiaan mu di surga sana."

Suara ketukkan mengintrupsi pembicaraan antara anak dan ayah itu. Sendu datang dengan nampan berisi dua cangkir teh putih panas dan sepiring cemilan.

"Saya permisi." Ucap Sendu ketika sudah meyajikan teh dan cemilan.

"Tunggu, Sendu. Perkenalkan ini ayah ku."

Sendu yang berniat undur diri hanya mampu melihat kedua laki-laki dihadapannya dengan mata yang tampak jelas tak mengerti.

"Iya, Pak. Saya sudah tahu. Ayah anda, Pak Hartono." Ucap Sendu sembari kembali memarkan senyumannya.

"Bagsulah."

"Ayah, aku sudah memperkenal seseorang kepada mu."

Hartono menatap putranya itu tak mengerti.

"Ayah sudah tahu soal Sendu, lalu apa, son ?"

"Bukan kah ayah ingin aku mengenalkan dengan perempuanku ? Kenalkan namanya Sendu, dia perempuan ku."

Hartono yang mendengar itu menatap putranya tak percaya. Sedangkan Sendu, dia tak mengerti apa-apa. Apakata nya ? Perempuannya ? Dia, perempuan seorang Xabiru ? Sejak kapan ?

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SENDUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang