Dihukum Masa lalu

21 4 0
                                    

Kicauan burung berbunyi melantunkan salam pertemuan kepada matahari. Pagi yang cerah untuk memulai aktivitas. Di ruangan persegi itu, seluruh jendela terbuka menyambut cahaya fajar. Para siswa berbondong-bodong memburu kursinya. Ada yang tak sabar menyapa rekan sebangkunya, ada yang gugup menahan sakit perut, ada pula yang diam dalam kecemasan dan ada juga yang dengan semangat membuka buku untuk mendahului guru.

Foto gambar garuda pancasila dalam bingkai itu diapit dua sosok pemimpin, yaitu presiden dan wakilnya. Dalam dua foto itu kedua mata mereka menatap lurus dengan bibir tertarik keatas. Seolah memberikan salam hangat kepada para siswa yang tak pernah mengindahkannya. Begitu pula dengan gambar para pahlawan yang berada di belakang deretan bangku siswa, mereka saling menampakan wajah dengan ekspresi yang berbeda. Sementara tidak ada satupun siswa yang tengah memperhatikannya. Semuanya tidaklah menjadi berarti dalam ruangan itu kecuali sebagai pengisi hiasan kelas saja.

Tanpa buku pelajaran atau pun materi dengan hanya membawa catatan kecil berupa selembar kertas Pak. Yatno menuju ruangan kelas itu. Diucapkannya salam pertemuan, doa dan beberapa motivasi. Para siswa mulai merubah duduknya yang tadi semrawut kini mendadak rapih. Pak Yatno memberikan ulasan meteri pada pertemuan sebelumnya dengan maksud mengingat kembali agar tidak lupa. Sekaligus sebagai langkah awal sebelum materi inti disampaikan. Dengan perasaan tenang Pak. Yatno menatap seluruh penjuru kelas dan mulailah ia menyampaikan sesuatu.

"Sebelum materi ini saya sampaikan tolong siswa-siswaku sekalian untuk segera mengumpulkan tugas minggu lalu di meja depan! Tolong ketua kelas bantu mengkordinasi" Tegas Pak Yatno memberikan perintah.

Para siswa mulai kembali bergemuruh. Ada yang sedang menahan kringat dingin dibangku paling belakang, ada siswa yang duduk di kursi deretan tengah sedang tergesa-gesa melihat buku tugasnya dan menjawab beberapa soal selagi sempat, dan hanya beberapa siswa yang duduk di bangku depan dengan sikap optimis dan senyum cerianya meletakan sebuah buku di meja. Ketua kelas pun berjalan ragu dengan hanya beberapa buku saja di tangannya. Sementara itu ia sempatkan melirik ke arah Pak. Yatno untuk melihat situasi. Tiba-tiba saja terjadi perkelahian kecil diantara siswa. Bagio yang menjabat sebagai ketua kelas tengah meminta kawan-kawannya yang duduk di kursi paling belakang untuk segera memberikan buku tugas kepadanya namun ia mendapat penolakan dari salah seorang bertubuh gempal. Sebagai ketua kelas terpilih atas dasar dorongan dari kawan-kawannya Bagio tidak berani untuk bersikap tegas kepada bocah bengal itu. Baginya menjadi ketua kelas serupa dengan bunuh diri, tidak akan ada pembelaan bagi dirinya jika sewaktu-waktu disalahkan. Seringnya malah Si Bagio sendiri yang mengalah. Pujian yang mengalir dari guru-gurunya tidak menjadikannya mulia. Beberapa anak di kelas itu justru menganggap bahwa Bagio tidak lebih dari sekedar pesuruh.
Tibo adalah salah satu dari beberapa bocah bengal yang tak mengerjakan tugas dari Pak. Yatno. Kegaduhan pun terjadi di kelas itu akibat ulahnya. Beberapa anak yang duduk di barisan tengah mengambil celah dan kesempatan untuk mengisi beberapa soal. Dan anak-anak yang duduk di bangku paling akhir menepuk-nemuk punggung seseorang di depannya untuk dimintai jawaban. Namun kejadian itu tidak berlangsung lama setelah kalimat sederhana dari Pak. Yatno membungkam kegaduhan. "Ayo mana tugasnya" Sambil berdiri menantang.

Sebenarnya Guru bahasa Indonesia itu paham dengan apa yang terjadi di depannya. Lantas ia menyuruh Bagio untuk mengembalikan buku-buku yang digenggam kepada pemiliknya. Sementara siswa yang duduk di deretan paling belakang menerima pahit tatapan Pak Yatno yang tengah menghukumnya dengan kedua mata itu. Menahan gugup dan kringat dingin sekonyong-konyongnya Tibo tersenyum malu diikuti pula beberapa anak dari kawanannya. Pria berusia dua puluh lima tahun itu menatap tajam ke arah Tibo lalu melangkahkan kakinya dari depan papan tulis menuju bangku paling depan tapi kemudian ia berhenti.

Hari yang suram dalam kelas yang ditatap beberapa tokoh pahlawan. Waktu yang sulit bagi senyum presiden dan wakilnya dibalik bingkai kaca. Guru itu tertahan oleh tatapan mata dalam gambar Ki Hadjar Dewantara. Menarik nafas sebentar lalu berbalik melihat gambar garuda Pancasila yang terpajang pada sebuah bingkai kaca di atas papan tulis. Kedua matanya meredup dan nafasnya kembali diatur sedemikian teratur agar emosinya kembali membaik. Lalu ia kembali berbalik badan dan menetap wajah-wajah muridnya. Saat itu juga tidak ada siswa yang berani bersuara, mereka terdiam dalam tanda tanya. Tibo mulai khawatir dan takut kalau nanti gurunya itu akan memberikan hukuman kepadanya. Juga beberapa anak lain yang dengan diamnya menahan malu dan kecemasan. Tiba-tiba saja Pak. Yatno mencopot kacamatanya. Sekejap saja wajah pria berusia dua puluh lima tahun itu berubah drastis. Ia tampak santai dan biasa-biasa saja. Seperti tidak ada masalah yang terjadi.
...

Pak. Yatno mulai bercerita. "Saya teringat masa-masa kecil sewaktu berusia sperti kalian ini. Berbeda dengan kalian yang hidup dikelilingi fasilitas terbaik. Setiap hari orang tua membangunkan anak-anaknya sepuluh menit atau saat subuh menggema. Setiap anak memang pernah mengeluh untuk bangun lebih dini. Tapi lambat waktu semuanya menjadi biasa-biasa saja. Justru malahan manjadi sangat menyenangkan." Ucapnya sambil menatap langit-langit kelas.

"Tidak banyak orang tua yang tahu apa-apa saja yang telah dilakukan anak-anaknya di perjalanan menuju sekolah. Kami sangat terbiasa menempuh jarak sepuluh kilometer dari rumah menuju sekolah dengan hanya berjalan kaki. kami melewati rumah-rumah penduduk, gang-gang kecil, gapura dusun, jalan raya, sampai lahan persawahan. Ada banyak kenakalan yang kami lakukan seperti, memetik mangga dari halam rumah milik penduduk yang masih tertidur, menjaili teman sampai luka ringan, hingga beradu lari dengan koin seratus rupiah sebagai taruhannya." Guru muda itu mulai mendesah untuk melepaskan rasa penyesalan.

"Selama perjalanan menuju sekolah selalu saja ada cerita tersendiri setiap harinya. Seperti meledek teman yang kepergok mencuri, mengganggu kawan yang sedang dihukum oleh guru, sampai menggoda teman gadis sekelas. Hampir tidak ada waktu untuk belajar. Tidak ada juga hasil yang dipetik selain tawa dan dosa. Tapi satu hal yang selalu kami ingat dan tak pernah dilupakan adalah rasa hormat dan tanggung jawab. Kami rela dihukum atas kesalahan-kesalahan kami yang tak masuk akal itu. Sayangnya kami tidak pernah merasa kapok dan terus berulah. Hingga akhirnya para guru jengah sendiri lalu memberikan surat peringatan kepada orang tua kami." Setelah mengucapkan cerita itu Pak. Yatno terhenti lalu mengambil sapu tangan dari kantong celana yang kemudian digunakan untuk membasuk wajah merahnya.
Tiba-tiba Pak. Yatno menunjuk Tibo kemudian berbicara "kamu Tibo. Ya, saya juga pernah melakukan hal serupa. Tidak mengerjakan tugas rumah kemudian dengan sangat terdesak dan terpaksa harus mencontek tugas yang dikerjakan teman. Saat itu juga saya ketahuan oleh guru dan diminta maju ke depan. Kemudian saya berfikir kalau guru akan segera memaki, melayangkan penghapus atau menyuruhku berdiri di depan kelas. Tapi kamu tahu apa yang kemudian guru lakukan saat itu?" Pandangannya tertuju bukan untuk Tibo tapi pada dinding di belakang kelas. Kemudian Pak. Yatno melihat ke seluruh wajah muridnya yang terdiam. Sementara Tibo tidak menjawab apapun dan memang tidak perlu menjawab apa-apa.

"Tidak ada." Pak. Yatno memberikan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Seluruh murid merasa heran.

"Tidak dihukum?" Salah seorang murid coba mencari penjelasan. Guru muda itu pun kembali melanjutkan.
"Iya, tidak ada. Sama seperti hari ini. Dan ini akan kalian rasakan suatu saat nanti" Jawab Pak. Yatno dengan senyum yang membuat para murid semakin tertunduk dan diam.

Detik waktu merambat pelan pada dinding yang mendenyutkan jantung. Suasana ruangan tiba-tiba terasa dingin. Kursi kayu dan meja mulai tak bersahabat. Mereka hanyut dalam suasana janggal. Sementara gambar-gambar pahlawan dan garuda pancasila bersama presiden dan wakilnya terus saja menghakimi tubuh-tubuh bocah yang mulai merisaukan keadaan. Adalah Bagio yang berusaha memecahkan kebuntuan. Ia berdiri setengah menunduk kemudian mengucapkan kalimat maaf mewakil teman-teman sekelasnya. Beberapa jurus kemudian semua murid berdiri dan melakukan hal yang sama. Guru muda itu kembali menebarkan senyum lantas ia menyuruh semua siswa di kelas itu untuk kembali duduk.

"Materi hari ini akan tetap saya lanjutkan. Tapi kita harus membuat kesepakatan. Yang pertama, bagi siswa yang sudah mengerjakan tugas rumahnya secara jujur silahkan letakan tugas itu di meja ini." Pak. Yatno menunjuk meja guru. Anak-anak melaksanakan perintahnya tanpa berkata-kata. Kemudian kembali melanjutkan. "Yang kedua, bagi yang belum mengerjakan tugasnya sejak dari rumah silahkan ganti dengan membuat cerita tentang hari ini. Tulisan terbaik akan saya muat di mading." Tibo dan kawan-kawannya mengangguh kemudian mereka mengambil beberapa lembar kertas dari bukunya untuk menulis sesuatu.
"Saya berikan waktu selama lima belas menit sebelum membahas materi hari ini. Selamat mengerjakan!"

Dihukum Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang