Pengusiran di Alam yang Damai 1

4 1 0
                                    

Seekor jangkrik mengigau dalam malam yang tak pernah menampakan warnanya. Dedaunan bergoyang-goyang mengikuti iringan angin yang tak berhenti menebar kesunyian. Dukri kecil terlahir pada sebuah desa bernama Gombong. Setiap harinya ia bekerja sebagai penjaga kebun sejak usianya masih belia. Pekerjaan itu diberikan oleh majikannya yang entah sejak kapan telah menjadikannya budak seumur hidupnya. Dukri sudah terlahir sebagai seorang hamba dari salah seorang juragan besar milik Saklan. Ia sendiri tak tahu siapa bapak ibunya. Satu-satunya orang tua yang ia kenal sejak kecil adalah sesosok Juragan tua bangka bernama Saklan. Sejak kecil Dukri diajarkan untuk memanggil Saklan dengan sebutan Ndoro.

Setiap harinya Saklan selalu memberikan pekerjaan kepada bocah itu secara bertahap. Semakin lama pekerjaan yang dilakukan Dukri semakin berat dan semakin kasar. Mulai dari menjaga kebun, merawat hewan ternak, mencari kayu bakar dan membantu dapur, hingga ketika usianya mulai dewasa. Dukri diberikan pekerjaan untuk membuat parit, membawa hasil bumi dengan grobak dorong, dan hamper semua pekerjaan otot lainnya. Si Juragan tidak pernah mengajarinya membaca dan menulis. Jangankan baca tulis, suatu ketika Dukri pernah tertarik melihat sebuah kertas lebar berisi tulisan-tulisan dan gambar yang baru ia lihat selama hidupnya. Kala itu Dukri melihat majikanya sedang duduk santai di depan beranda rumah sambil membaca kertas lebar berisi gambar. Karena penasaran Bocah lugu itu mendekat dan berusaha menyentuhnya. Saklan menganggap bocah malang itu mengganggu kekhusuan menikmati bacaan paginya. Lantas Juragan besar itu mengelak dan membentaknya. Dukri yang malang hanya menunduk ketakutan kemudian meminta maaf dan pergi.

Sejak kecil Dukri memang sudah sedemikian hinanya dalam lingkungan berkecukupan. Dari sekian banyak kuli yang bekerja kepada Juragan Saklan hanya dia seorang yang tinggal. Semua pekerja umumnya hanyalah kuli penerima upah yang datang sekali waktu jika tenaganya dibutuhkan. Berbeda sekali dengan Dukri yang entah apa hubungannya dengan Juragan tamak itu. Tidak ada yang tahu latar belakang bocah malang itu. Pernah suatu kali Dukri berupaya untuk mencari tahu siapa sebenarnya dirinya. Namun kebanyakan orang enggan untuk memberi tahun. Malahan Dukri mendapatkan sebuah informasi simpangsiur, yang lebih cocok untuk disebut gosip ketimbang membantu. Ada beberapa orang yang mengatakan kalau Dukri adalah anak dari seorang pelacur yang mati bunuh diri, ada pula yang bilang kalau Dukri hanyalah anak selingkuhan Juragan Saklan. Jauh lebih parah lagi, beberapa orang di sawah telah membuat cerita kalau Dukri sebenarnya anak seekor babi hutan yang mirip dengan manusia. Atas dasar kasihan dan tidak mungkin Juragan Saklan memotong lehernya untuk menu makan malam maka Si Juragan pun memungutnya. Mendengar pernyataan orang-orang itu lantas Dukri mengamuk, ia memukuli semua kuli dengan brutal dan tanpa ampun meskipun sebenarnya dialah yang layak diampuni. Ia tetap tak berhenti dengan tubuh yang dipenuhi luka, memporak-porandakan padi yang baru tumbuh dan membuat seluruh manusia terbengong-bengong melihatnya.

Berita tentang amukan Si Babi hutan telah sampai ke telinga Juragan Saklan. Di panggilnya Dukri menghadap dengan bukti ladang persawahan yang telah entah berantah bercampur lumpur dan tanah. Kali ini Saklan benar-benar murka kepadanya lantas Si Juragan meminta alasan mengapa Dukri melakukan itu sebelum ia memberikan hukuman. Dengan berani Dukri mengatakan semua yang ingin dikatakannya. "Siapakah saya?, Kenapa saya bekerja untuk Ndoro Juragan?, Kenapa saya tidak mendapatkan upah?, Kenapa saya dibiarkan tinggal di sini?, Jika ini rumah saya kenapa saya menjadi hambamu?" Begitulah isi kalimatnya.

Tidak ada lagi sopan santun seorang hamba. Dukri telah meledakan dirinya dalam api pemberontakan. Kalimatnya mendadak tinggi dengan pandangan tajam menusuk mata yang melihatnya. Juragan Saklan tidak sedikitpun menjawab kalimat itu, dilayangkannya telapak tangan menghujani pipi remaja malang berkali-kali kemudian Ia mengusir Dukri. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya. Namun kali itu baru pertama kalinya Dukri melihat air muka yang berbeda. Juragan Saklan terlihat begitu marah juga sekaligus menangis. Air mata itu tetap menggenangi selaput matanya, tidak dapat ditutupi sedikitpun dari wajah Saklan. Semua orang yang menyaksikan kejadian itu terdiam tanpa sedikitpun bertindak. Mereka didominasi oleh para kuli bayaran yang tengah meminta upah. Berberapa orang dari mereka saling berbisik, memberikan perspektif baru.

Dihukum Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang