Pengusiran di Alam yang Damai 2

7 1 0
                                    

Hari yang baru telah tiba, Dukri beranjak dewasa. Kini usianya mencapai dua puluh lima tahun lebih. Pekerjaan dari hasil membelah batu tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Lantas Dukri meminta izin kepada Sukarso untuk bekerja kepada salah seorang pemilik perkebunan kelapa. Kabarnya pemilik perkebunan kelapa itu tengah membutuhkan banyak buruh untuk mengolah kelapa sawit menjadi minyak. Ia dan pemuda lainnya berbondong-bondong mendaftar. Singkat cerita Dukri dan beberapa kawannya diterima kerja di perkebunan tersebut.

Kondisi kebun terletak sangat jauh dari Sungai Kali Waluh, namun hanya beberapa kilometer saja dari tanah milik Juragan Saklan di Desa Gombong. Hari pertamnya berkerja hampir-hampir tidak ada masalah, ia dapat bergaul dengan mudah juga karena lingkungan yang begitu sangat menerimanya. Sebagai anak yang rajin Dukri selalu menyempatkan diri untuk menunaikan kewajibannya yaitu sembahyang. Dukri menginap di sebuah gubuk yang sengaja dibuat oleh pemilik perkebunan untuk bermalam bagi para anak buahnya. Gubuk itu sebenarnya lebih tepat disebut rumah sebab bangunannya terbuat dari tembok dan terdapat fasilitas tempat tidur, ruangan untuk mandi dan radio. Jadi maklum saja jika banyak sekali para kuli yang sengaja menginap, salah satu alasannya adalah mereka ingin mendengarkan radio dan berkumpul bersama yang lain semalam suntuk. Dukri sendiri memilih untuk tinggal di sana sebab jarak pulang terlalu jauh sehinnga Dukri memutuskan untuk pulang ke rumah Sukarso jika waktu libur tiba dalam seminggu.

Gelap adalah warna yang penuh dengan kemisteriusan. Partikel gelap bukanlah bagian terkecil dari sebuah bentuk atom, tapi galap mendominasi seluruh alam semesta. Gelap menelan semua gugusan planet, bintang dan seluruh galaksi. Tetapi gelap selalu membawa kita pada sebuah pertanyaan akan sebuah keberadaan, ada apa dibalik gelap? Seperti halnya kebodohan manusia biasa lainnya, Dukri menangkap ada sesuatu yang tidak dapat diketahuinya. Saat itu Dukri berada di dalam kamarnya, orang-orang diluaran berteriak-teriak menyebut nama seseorang yang entah siapa, selang beberapa menit kemudian mereka hanyut terbawa lagu dan irama kecapi. Dukri sempat melirik ke salah satu sudut pada perkomplekan gubuk itu, ada sebuah tanda hitam dengan warna dasar merah. Tanda itu lebih tepatnya menyerupai sebuah bendera dengan panjang selengan orang dewasa. Dukri memperhatikan baik-baik gambar dalam tanda itu, semakin lama semakin dekat. "Mungkin itu bukan tanda, bisa jadi itu simbol. Oh, tidak itu sebuah gambar" begitu tegasnya. Kedua gambar dengan warna garis hitam dan warna dasar merah itu terpampang semakin jelas dan semakin banyak, malahan hapir di setiap sudut gubuk. Meskipun Dukri tidak bisa baca tulis namun ia mengenal benda tersebut yang tidak lain tidak bukan ialah bendera Partai dengan gambar palu dan aritnya.

Dada tiba-tiba saja semakin berdebar-debar, udara dingin meraba kulit, menciptakan kegaduhan untuk tetap sabar menahan khusu. Sementara sebuah pertanyaan di balik warna gelap mulai kembali datang menepis kepercayaan dalam diam memanggil nama Tuhan. Butir demi butrian tasbih dilantunkan dengan khusu dan hikmat. Dukri terus memanggil-manggil nama Tuhan desetiap resah yang terus merundung, persis seperti yang diajarkan Sukarso kepadanya. "Ingatlah Tuhan maka dirimu akan jauh lebih tenang" begitu tuturnya. Tidak ada lagi yang perlu ia cemaskan, selagi ia berusaha dan berdoa. Sehabis selesai sembahyang, Dukri berkeniatan untuk berkumpul bersama yang lain mendengarkan acara radio, namun baru saja ia keluar dari ruangan orang-orang berhamburan mengemasi seluruh pakaiannya dan pergi. Dukri terpaku melihat semua orang berubah sikap. Tidak ada tanda-tanda ancaman, tidak ada tanda-tanda pemilik tanah akan datang tapi kenapa semua orang ketakutan, begitu mungkin pikirnya. Dukri mengambil radio yang tergeletak di atas meja. Datang salah seorang dari mereka yang berteriak menyuruh Dukri untuk lekas bebenah dan pergi menjauh dari tempat tersebut, namun laki-laki itu masih saja tidak paham akan ancaman yang dimaksud. Akhirnya dengan terpaksa dan sedikit rasa ingin tahu, Dukri pun menghendaki dirinya bersama dengan yang lain untuk segera berkemas.

Malam menjadi semakin dingin dengan tanda besar menggantung diangkasa. Binatang malam menyingkir dari semak-semak ketika segerombolan pemuda belari kearahnya. Salah seorang berbisik memberikan perintah untuk berpencar. Sementara dari kejauhan terdengar suara mobil truk datang. Jalan setapak di tengah perkebunan kelapa sawit itu mendadak terasa angker. Seseorang yang sama menyuruh orang-orang untuk bersembunyi dibalik semak-semak dan pepohonan. Sementara Dukri masih belum benar-benar mengetahui apa sebenarnya yang sedang terjadi. Mungkin semua itu ada hubungannya dengan bendera yang ia temui di gubuk. Sambil berbisik Dukri bertanya kepada salah seorang di dekatnya. "Kenapa kita bersembunyi?". Seseorang tersebut menjawab dengan jari menyilang di bibirnya, "Ssttt, diam". Tidak menunggu terlalu lama truk kembali melintas menjauhi mereka.

Dihukum Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang