Doa untuk Ibunda yang Membawa Lara

14 1 0
                                    

Kala itu aku baru pulang sehabis dari mengerjakan penelitian. Aku sadar telah melupakan janji di atas meja makan kita. Tentu saja aku pulang membawa lelah dan penyesalan. Dengan menarik nafas aku tarik gagang pintu dan ternyata kau belum juga tertidur, tidak seperti perkiraanku. Di ruang depan itu aku jumpai wajahmu yang gelisah tanpa kata juga wajah bapak di sana. Lantas kedua mataku menyisuri seisi ruangan, ada pakaian di mana-mana, juga aku dapati tas rangsel dan beberapa kardus. Apakah yang tengah terjadi, begitulah tanyaku tanpa beban dosa. Aku terpaku menatap wajah bapak yang berusaha menyampaikan sesuatu.

"Bapak dan Ibu akan pergi ke kampung halaman, nenekmu sedang sakit". Jauh dari dalam pikiranku mengatakan bahwa engkau menginginkan aku untuk tetap tinggal. Maafkan aku ibu kala itu aku hanya menjawab kalimat itu dengan diam menatap tanah. Bukan maksudku nyawa nenek tak berarti juga bukan maksudku tak rindu kepadanya, engkau pun begitu memahamiku namun aku merasa pedih dalam kejujuran ini. Selama engkau mengerus nenek di kampung halaman aku tak mencoba menghubungimu. Seringnya waktuku habis untuk mengurus tugas akhirku, komunitas, menulis dan yang lain. Di saat aku mulai sendiri pada ruangan rumah barulah aku mengerti bahwa seharusnya aku ikut bersama mengurus mertua mu itu ibu.

Minggu demi minggu terlah berlalu, penelitianku hampir saja selesai. Pada kesempatan selanjutnya aku berencana menyudahi revisi hasil sidang skripsi dengan meminta tanda tangan kepala Dekan. Tahukah kau ibuku, di ruangan formal itu aku menggambar wajah sang nenek dalam imajinasiku, penuh kesendirian dan malang. Hampir saja aku menyesali hari itu, penantianku selama berjam-jam akhirnya menuai hasil. Sebelum gedung ditutup Perempuan tua berusia lima puluh tahunan lebih itu akhirnya menampakan hidungnya. Ia pun memberikan tanda tangannya tanpa senyum sedikitpun, gambaran wajah-wajah yang lelah dengan kesibukannya. Setelah aku ucpakan kalimat terima kasih kepadanya bergegaslah aku menuju tempat pembuangan hajat, sudah tidak tahan rasanya menahan kencing berjam-jam. Rasanya begitu menyakitkan ditambah dinginya suhu ruangan menambah rasa ngilu pada alat vitalku. Sekeluarnya aku dari toilet ponsel dalam kantong celanaku berdering hebat, aku angkat dan ku letakan pada daun telingaku bunyi suaramu "nenek sudah tiada".

Seperti rembulan yang merindukan malam, hari-hariku berjalan tidak mudah terutama sekali pada tempat tidurku. Tidak seharusnya tubuh ini gelisah di tempat yang nyaman dan menenangkan, tapi bantal tak terasa empuk, selimut tak terasa menghangatkan. Kau kembali dengan berita duka itu. Meskipun aku sempat memanjatkan doa di depan makamnya, tak cukup terasa bagiku untuk mengobati semua kelalaian itu. Cucu yang tak pernah punya waktu untunya. Ketahuilah bu, suatu hari nanti aku pun tak ingin engkau bernasib sama, hidup pada sebuah desa yang terpencil, ditinggal anak menggelandang di ibu kota, lalu pulang saat engkau jatuh sakit. Seperti yang terjadi pada nenek bulan maret yang lalu.
Aku kira keadaan akan kembali baik-baik saja, tahun baru akan menjadi tahun yang istimewa setalahku dapatkan gelar sarjana itu di bulan Juni. Aku punya banyak waktu di rumah menatap foto wisudaku sekaligus menyiapkan diri dengan dunia yang baru, melamar pekerjaan. Tak kurasa sesulit ini mencari pekerjaan dengan gelar itu. Satu demi satu lamaran ditolak, keringat mengiri kegagalanku menghadap interviu. Tapi kau tatap aku semanis dahulu, penuh kesabaran dan kelembutan. Jauh dari dalam dadaku sebanarnya tak ingin sekali membuatmu kecewa bu. Namun rimba kota terlalu ganas untuk ditaklukan. Lantas disetiap keluhanku megelandangi ibu kota engkau mengelus dadaku dan mengeluarkan kalimat halus itu "sabarlah anakku". Oh ibuku, ingin rasanya aku tongkrongi monas ditemani segelas kopi plastik dan segaret tembakau lalu mengabiskan seluruh kalimat idealisku yang tak pernah laku untuk mendapatkan pekerjaan. Namun aku sadar itu hanyalah sebuah emosi atas kegagalan.

Di akhir-akhir tahun selanjutnya, dari bulan Agustus sampai Desember aku jumpai tubuhmu yang tak perkasa lagi. Setiap malam tanpa aku tahu sebelumnya kau meringis kesakitan pada pinggangmu menahan rasa sakit. Kau sibukan dirimu sendiri dengan membanting tulang menggantikan posisi bapak yang tak pandai lagi mencari sesuap nasi. Sementara aku hidup membujang tanpa pekerjaan. Sebagai seorang anak yang punya cukup waktu di rumah aku usahakan diri mengantarkanmu berobat dengan harapan semuanya akan baik-baik saja. Tapi sebuah telegram telah merebut kesempatanku berbalas budi itu. Kakek dan saudara-saudaramu merasa pertanggung jawab untuk mengurus pengobatan di kampung halaman sana, mereka memang punya hutang kepadamu tapi kenapa kau tak biarkan aku saja yang mengurusmu.

Dihukum Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang