Riera, ini namanya lift

38 17 6
                                    

"Tolong nunduk, kak!" perintah Riera, mencengkram leher belakang pemuda itu. Tangan kiri Riera langsung menadah darah yang keluar dari hidung Deffin supaya tidak berceceran di lantai maupun menetes di seragam, dan yang paling urgent sesungguhnya, supaya Deffin tidak sampai melihat darah. Cedera mental lebih Riera takutkan daripada darah yang keluar dari hidung. Suasana pagi damai yang didukung cuaca cerah bisa-bisa rusak karena Deffin semata.

"Tutup mata ya, kak?" Gadis itu menggelandang Deffin ke wastafel dapur.

Bersikap setenang mungkin ialah kunci menyelesaikan masalah yang simpel secara prosedur, namun ribet karena unsur kejutnya menciptakan kepanikan, contohnya mimisan. Riera kepikiran untuk membawa sapu tangan sampai kid P3K ke sekolah demi berjaga-jaga. Ini adalah pengalaman pertamanya menangani mimisan orang dewasa. Dan lebih khusus, ini adalah pertama kalinya Deffin mimisan selama Riera bekerja disini.

Ia bertanya-tanya apa yang terjadi pada Deffin. Mungkinkah lelaki itu sedang sakit? Analisa singkatnya menunjukkan tidak ada gejala sengau, suara serak, napas berat maupun suhu abnormal dibagian leher samping. Darah telah berhenti menetes. Tidak banyak yang keluar. Sambil membersihkan sisa pendarahan, ia mencoba mengingat dengan seksama perilaku Deffin ketika ngobrol bertiga dengan Casya.

Kesimpulannya? Tidak ada yang aneh.

Apa yang terjadi membuktikan bahwa mimisan ketika melihat cewek cantik tidak cuma terjadi di anime. Sayang sekali Riera belum mengetahui eksistensi fenomena itu, sehingga tidak kepikiran sama sekali jika dialah yang menyebabkan Deffin mimisan.

Riera pergi ke kamar, menarik laci meja kabinet, kemudian meraih dua pak tisu pocket. Sebungkus diberikan kepada Deffin sebagai penyeka wajah dan berjaga-jaga seandainya kejadian tersebut terulang.

Di cermin ia melihat wajah Deffin. Namun perhatiannya langsung teralihkan. Penampilan dirinya menggunakan seragam begitu aduhai, membuatnya terpukau. Dalam sudut pandangnya, setelan ini begitu mewah. Seolah yang ia lihat bukanlah Riera, melainkan seseorang dari semesta pararel, dirinya yang lain. Atau setidaknya, hanya seorang gadis yang mirip dengan nasib yang sungguh berbeda.

"Makasih ya, Riera?" ucap Deffin.

Sekilas Riera mendengar perbedaan frekuensi saat Deffin menyebutkan namanya. Lebih lembut dan dalam. Makna tatapannya pun seakan punya arti lain. Senyumnya memudar, tak lagi kuat. Seakan ada perasaan lain yang coba pemuda itu sampaikan, alih-alih ditahan. Tidak seperti Deffin yang biasa.

Hampir saja Riera melupakan seseorang. Casya masih menunggunya di teras.

"Gimana?" tanya Casya sambil melongok kedalam rumah.

"Udah gak papa kok." Riera mengacungkan ibu jari.

"Ya udah, gue pulang ya?" Casya pamit. "Kita ketemu lagi di sekolah, oke?"

Riera menghaturkan rasa terima kasih. Lalu melambai kepada Casya, menatap gadis itu sampai sosoknya hilang setelah melewati gerbang.

Deffin sudah hilang entah kemana. Mungkin segera naik keatas. Cepat-cepat Riera melanjutkan kegiatannya yang tertunda. 10 menit lagi sebelum pukul 7 pagi. Ia menyesali gelagat Casya yang seakan berupaya mengulur waktu dan insiden mimisan Deffin. Kegagalan mengompres durasi berusaha Riera tebus dengan melahap sarapan secepat mungkin. Ia menolak perpaduan aneh antara nasi kuning dengan kimci. Gadis itu hanya memilih salah satunya. Tidak ada kesulitan berarti melumat sepiring nasi kuning selain soal makanan yang nyangkut ditenggorokan.

Kepanikannya membuncah ketika mengalami cegukan hebat sementara tidak ada gelas minum di meja. Segelas penuh susu hangat akan membakar papila bila diteguk secara paksa. Ia akan meminum susunya setelah menghabiskan sarapan. Keinginan untuk berlari dicegah oleh permukaan lantai yang terasa berbeda ketika berjalan dengan telapak kaki berlapis stocking. Terasa cukup licin. Riera tidak mau terpeleset.

My Korean Brother (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang