PART 3

200 38 0
                                    

Jika mencintai hanya memberikan luka harusnya cinta tak pernah singgah padaku.

Setelah mengatakan hal tersebut dia memeluk tubuhku dan mengecup keningku khitmat dan setelahnya dia pergi. Dia memang tak mengatakan perpisahan atau hal lainnya yang menyangkut hubungan kami tapi entah aku berfikir jika dia hubungan kami memang tak akan baik setelah ini dan aku harus bersiap akan kemungkinan buruk yang terjadi.

Aku memasuki apartmenku yang masih gelap itu, rasanya begitu sunyi dan gelap. Aku takut, benar-benar takut sendiri dalam kegelapan. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya jatuh juga, rasanya sepi menyapa. aku lelah, amat sangat lelah. Kenapa seakan-akan Tuhan tak pernah berpihak kebahagiaanku.

Tubuhku luruh dilantai dingin. Malam ini mungkin akan menjadi malam yang paling menyakitkan setelah saat itu, aku terjatuh kembali tanpa penopang.

...

Pagi menjelang, tak membuat mataku berhenti mengeluarkan airmata. Lelah, tentu saja. Bahkan mata ini belum mau terpejam sejak tadi malam. Aku melihat benda pipihku yang terlihat menampilakan sebuah pesan masuk

Bunda

Prilly sayang, hari ini libur kan? Bunda kangen kamu sayang. Nanti malam ajarin bunda masak ya! Harus mau pokoknya.

Aku tersenyum kecut membacanya.

Inginku menolak karena aku tak ingin bertemu terlebih dahulu dengan tunanganku. Bunda merupakan ibu dari tunanganku yang memang amat menyayangiku. Dia bahkan sudah ku anggap sebagai ibu kandungku.

Me

Iya bunda.

Aku memang bodoh, bagaimana kalau aku bertemu dengan Ali apalagi hari libur seperti ini yang ku tau selalu di rumah utama.

...

"Bunda kangen loh Pril." Wanita paruh baya yang masih sangat cantik itu sangat bahagia ketika tau Prilly datang. Pelukan hangat langsung menyambutnya, Prilly sangat menyayangi Bunda. Itulah salah satu yang membuatnya terjerat dalam kehangatan keluarga Mahendra.

"Prilly juga kangen Bunda."

"Kamu sakit? Kok muka kamu pucet?" Bunda Maya meneliti wajah Prilly yang memang nampak pucat.

"Enggak kok, Bun. Cuma cape kerja aja."

"Dasar ya si Ali! Nggak peka banget calon istrinya dikasih kerjaan nggak kira-kira! Harus ditegur itu anak biar peka sedikit!" Prilly meringis merasa bersalah walaupun memang wajah kuyunya karena anak sematawayang keluarga Mahendra. Tapi apakah dia akan menyalahkan Ali dengan semua kejadian ini jawabnya pasti 'tidak'.

"Eh jangan Bunda." Prilly berucap cepat takut membuat masalah baru yang pasti membuatnya merasa semakin bersalah. "Ayo katanya bunda mau belajar masak."

"Dasar anak ini paling bisa ya buat bunda melupakan si anak nakal itu!" kedua wanita beda generasi itu terlihat bahagia menuju dapur.

...

"Bunda banyak baget ini bahannya." Aku menatap takjub pada banyak bahan yang ada di counter dapur. Ada berbagai macam sayuran, bumbu dapur, daging, ayam, ikan. "Ini mau di masak semua, Bun?"

"Kebanyakan ya belanjanya?" Aku sedikit mengangguk dengan senyuman. Bunda memang paling heboh jika menyangkut masak-memasak. Beliau memang tidak begitu bisa memasak karena Om Hendra lebih memilih Bunda merawat dirinya di salon dan berkumpul dengan kaum sosialita daripada memegang pisau dapur.

Tapi hal itu tidak berlaku padaku karena Om Hendra tau jika Bunda amat menyayangiku.

"Kita masak bahannya setengah aja, Bun. Sisanya dimasukin ke kulkas aja kan bisa dimasak bibi untuk besok." Bunda mengangguk.

"Bunda bantu bersihin ya."

"Iya Bunda bersihin sayurnya aja lalu potong kecil-kecil ya Bun."

Bunda sesekali bertanya padaku tentang pekerjaanku, beberapa kalipula beliau bertanya tentang hubungan kami.

"Bunda, ngapain di dapur?" aku menegang mendengarkan suara laki-laki yang harus aku hindari. Harusnya aku tak kesini, harusnya aku menikmati masa liburku pergi entah kemana. Dia bahkan belum menyadari aku disini karena badanku yang mungil tertutup dengan badan bunda yang tinggi. "Bunda jangan macam-macam."

Aku mendengarkan suaranya yang memelan, tampaknya dia menyadari jika aku ada di sana sedang fokus mengaduk sup daging.

"Bunda lagi masak bareng mantu kesayangan, jangan ganggu udah sana keluar." Aku masih fokus pada sup dipanci belum berani bertatapan dengannya.

"Ay, kok kamu nggak ngabarin aku mau ke sini."

"A-aku dadakan kok jadi tak sempat bilang, Li." Dia terlihat begitu santai dengan kaos oplong hitam dan celana pendeknya.

"Kalau Prilly kesini emang kenapa? Kamu nggak suka Bunda lebih deket sama Prilly!" bunda terlihat bersungut-sungut.

"Ihk bunda bawaannya neting mulu. Kalau Ali tau Prilly kesini kan bisa dijemput, Bun." Hatiku berbunga tak bisa dicegah mendengar kalimatnya itu. Please, jangan membuatku jatuh kembali dalam pesonamu Li!

"Makanya jadi laki-laki itu jangan cuek-cuek! Tau hari libur malah di kamar main PS dari bangun tidur!" aku cukup terkejut mengetahui jika Ali sudah menginap di sini. Aku kira dia menemani 'sahabatnya' itu. Bolehkan aku kembali berharap padamu Li.

"Iya Ali yang salah. Emang bener laki-laki selalu salah dimata semua wanita. Masak apa, Ay?" aku terkaget mendengar suara A;i yang sangat dekat dengan wajahku. Aku menahan nafasku gugup. Ali aku tak bisa bernafas! Jeritku.

"Jangan ganggu! Udah sana pergi!" Bunda memukul kepala Ali dengan spatula kayu yang beliau bawa. Ali terlihat meringis dan mengusap kepalanya cemberut. Inilah yang aku sukai jika berada di tengah-tengah keluarga Mahendra.

Aku merasa bodoh sudah menangis semalaman karena hal sepele dan tak terbukti. Hatiku sedikit lega ternyata semua masih pada tempatnya dan aku masih menjadi tunangan seorang Ali Mahendra. Ali Mahendra hanya milik Prilly Kanaya Dewi.

...

"Seneng ya kalau punya mantu pinter masak!" Bunda Maya nampak memuji masakan yang berhasil di buat oleh Prilly yang di dukung dengan anggukan sang suami.

"Ini kan yang masak bukan hanya Prilly tapi kreasi Bunda juga." Prilly tak mau menerima pujian itu sendiri.

"Kalau bunda yang masak udah dipastikan rumah dan isinya akan kebakaran. Aduh sakit Bunda!" Ali mengusap tangannya yang terkena pukulan sayang dari Bundanya.

"Kalian berdua ini. Maklum ya Pril, mereka berdua kalau kumpul memang ramai kaya orang sekampung." Bunda menatap Om Hendra tajam. Sedangkan aku hanya terkekeh geli.

Kami makan dengan bercengkrama ringan, semoga saja aku masih bisa menikmati semua kebahagiaan ini selamanya.

Selamat membaca. Terimakasih ^^

Just You, Only OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang